Sabtu, 19 Mei 2012

Sebuah Renungan di Akhir Latihan Pra-Jabatan CPNS


Renungan ini saya buat pada saat perpisahan LPJ CPNS angkatan 21 kab. Padang Pariaman di INS Kayutanam. Dan pada penyajiannya saya dibantu oleh sahabat saya bang Hengki Akhdiat Anwar…

Bismillah…
Teman-temanku marilah sejenak kita menundukkan kepala kita, merenung dan menyadari akan apa yang sudah kita lakukan selama ini.
Teman-teman sekalian, sungguh selama hidup ini, kita butuh pada Zat Pemberi kehidupan dan Pemberi kenikmatan…  Dialah Allah yang telah menciptakan kita dan menganugerahkan begitu banyak kenikmatan untuk kita.
Mari kita hadapkan diri kita… kita pasrahkan kepada Zat yang Maha member kekuatan.

Saudaraku…
Alhamdulillah, kita harus bersyukur kepada Allah karena hingga hari ini kita masih dikaruniai umur dan kesehatan oleh Allah. Padahal saudaraku, tidak sulit bagi Allah untuk menjadikan mala ini adalah malam yang terakhir dalam kehidupan kita.
Tidak sulit bagi Allah untuk membuat kita tertidur selamanya…  Ya Tidak sulit bagi Allah untuk membuat kita tertidur selamanya…
Saudaraku…
Sadarkah kita kalaupun saat ini jantung kita masih berdetak, napas kita masih berhembus dan telinga kita masih dapat mendengar dengan sempurna, itu semua hanya karena kemurahan Allah pada kita, dan karena kasih sayang Allah pada kita…

Teman-teman seperjuanganku…
Ingatkah kita bahwa 10-20 yang lalu kita bukan siapa-siapa, kita bukan orang yang diperhitungkan, kita hanya bocah ingusan yang tidak tahu apa-apa, yang hanya bisa merengek pada ayah dan ibu kita, anak yang hanya bisa menyusahkan kedua orang tua kita.
Tapi teman-teman… lihatlah diri kita saat ini…
Kita bisa berdiri dengan gagah memakai dasi dan menatap masa depan kita, padahal banyak orang-orang yang tidak seberuntung kita… banyak orang-orang diluar sana yang ingin seperti kita… Kita terlalu lemah untuk bersyukur teman… Kita terkadang melupakan nikmat Allah pada kita…
Ingatlah Saudaraku… bukan karena kekuatan kita  dan kepintaran kita, kita bisa seperti saat ini… Dialah Allah yang maha Rahman yang telah memberikan itu semua pada kita.

Oeh karena itu saudaraku…
Marilah kita kubur dalam-dalam segala macam kesombongan yang ada dalam diri kita. Kesombongan yang suatu saat dapat menghancurkan hidup kita. Menyadari dan bersyukur atas nikmat-nikmat Allah pada diri kita.


Saudaraku…
Ada sosok manusia yang diantara siapapun, mereka yang paling berjasa hingga kita bisa seperti ini. Ya merekalah orang tua kita. Yang sepanjang hidupnya dengan tulus memberikan pengorbanannya untuk kita. Merekalah yang bekerja keras membanting tulang dan memeras keringat untuk membesarkan kita. Tapi kalau kita mau jujur, kita terlalu sering menghianati pengorbanan mereka. Kita sering melupakan mereka disaat kita telah berhasil, ya kita lupakan mereka saudaraku…

Bahkan untuk sedikit menyisihkan sebagian gaji kita untuk mereka, walaupun mereka tidak memintanya… tidakkah kita sadar saat kita sedang jauh dari mereka, mereka sedang kesusahan atau sedang terbaring sakit…
Teman-teman sekalian, jika saat ini kita bertanya pada mereka bagaimana cara kita membalas jasa mereka, mungkin mereka akan menjawab :
“Nak kami tidak butuh balas jasa atas pengorbanan kami. Karena itu semua ketulusan cinta kami untukmu nak. Melihat kamu sukses dan bahagia itu adalah kebahagiaan besar buat kami”

Dan mungkin juga kedua orang tua kita akan berkata :
“ANAKKU JIKA KAMI SUDAH TUA NANTI TOLONG JANGAN LUPAKAN KAMI NAK…”
“ANAKKU JIKA KAMI SUDAH TUA NANTI TOLONG JANGAN LUPAKAN KAMI NAK…”
“ANAKKU JIKA KAMI SUDAH TUA NANTI TOLONG JANGAN LUPAKAN KAMI NAK…”

Sahabat-sahabatku…
Akhirnya inilah hari perpisahan LPJ kita ini, dengan teman-teman seperjuangan kita, teman-teman sekamar kita, tempat dimana biasanya kita berbagi suka dan duka bersama mereka… ya kita akan berpisah dengan mereka semua…
Mari kita tulus memaafkan kekhilafan teman-teman kita yang telah berinteraksi dengan kita. Mari kita doakan agar mreka sukses, sehingga saat kita bertemu lagi kelak, teman-teman kita sudah menjadi orang-orang penting dan diperhitungkan ditempat mereka berkerja.

Sahabat-sahabatku…
Mulai hari ini mari kita bertekad untuk mengubah diri kita menjadi lebih baik, dari hari ke hari. Menjadi contoh di instansi kita masing-masing. Mari kita bertekad menjadi orang yang diperhitungkan di tempat kita berkerja. Dan menjadi pemimpin yang baik bagi keluarga kita, bagi anak dan istri kita, dan menjadi ibu yang super untuk anak-anak kita.
Sahabatku, mari kita bertekad untuk tidak pernah menafkahi keluarga kita dengan nafkah yang haram, sebagai perumpamaan “ seandainya kita mau dan bersedia memakan mangga curian yang kita curi dari tetangga kita, tapi apakah kita tega memberikan mangga curian itu untuk anak-anak kita , jangan pernah sahabatku…”
Akhirnya… mari kita bangun komitmen bersama untuk membangun negeri ini, khususnya tanah Padang Pariaman yang kita cintai ini, agar kelak menjadi kabupaten yang diperhitungkan di kancah nasional maupun internasional.

Mari kita menyesali semua kesalahan kita…
Pada teman-teman kita
Pada guru-guru kita
Pada pemimpin-pemimpin kita,
Pada orang tua kita, dan
Pada Allah SWT
Dengan tulus kita memohon maaf atas semua kealpaan kita…

Hanya kepada Allah yang Maha kuasa kita berserah diri dan memohon pertolongan…

Wasaalamualaikum, semoga bermanfaat…












Trauma Limpa


Trauma Limpa
By. Sudiyatmo, MD
(Dari berbagai sumber)

Fisiologi Limpa
Limpa adalah organ pertahanan utama ketika tubuh terinvasi oleh bakteri melalui darah dan tubuh belum atau sedikit memiliki anti bodi. Kemampuan ini akibat adanya mikrosirkulasi yang unik pada limpa.  Sirkulasi ini memungkinkan aliran yang lambat sehingga limpa punya waktu untuk memfagosit bakteri, sekalipun opsonisasinya buruk. Antigen partikulat dibersihkan dengan cara yang mirip oleh efek filter ini Dan antigen ini merangsang respon anti bodi lg M di centrum germinale. Sel darah merah juga dieliminasi dengan cara yang sama saat melewati limpa.
Pada usia 5-8 bulan, limpa berfungsi sebagai tempat pembentukan sel darah merah dan sel darah putih. Fungsi ini akan hilang pada masa dewasa. Namun limpa mempunyai peran penting dalam memproduksi sel darah merah jika hematopoiesis dalam sumsum tulang mengalami gangguan seperti pada gangguan hematologi. Secara umum fungsi limpa di bagi menjadi 2 yaitu:
1. Fungsi Filtrasi (Fagositosis)
Lien berfungsi untuk membuang sel darah merah yang sudah tua atau sel darah merah yang rusak misalnya sel darah merah yang mengalami gangguan morfologi seperti pada spherosit dan sicled cells, serta membuang bakteri yang terdapat dalam sirkulasi. Setiap hari limpa akan membuang sekitar 20 ml sel darah merah yang sudah tua.selain itu sel-sel yang sudah terikat pada Ig G pada permukaan akan di buang oleh monosit. Limpa juga akan membuang sel darah putih yang abnormal, platelet, dan sel-sel debris.
2. Fungsi Imunologi
Limpa termasuk dalam bagian dari sistem limfiod perifer mengandung limfosit T matur dan limfosit B. Limfosit T bertanggung jawab terhadap respon cell mediated immune (imun seluler) dan limfosit B bertanggung jawab terhadap respon humoral. Fungsi imunologi dari limpa dapat di singkat sebagai berikut:
  1. Produksi Opsonin
Limpa menghasilkan tufsin dan properdin. Tufsin mempromosikan Fagositosis. Properdin menginisiasi pengaktifan komplemen untuk destruksi bakteri dan benda asing yang terperangkap dalam limpa. Limpa adalah organ lini kedua dalam sistem pertahanan tubuh jika sistem kekebalam tubuh yang terdapat dalam hati tidak mampu membuang bakteri dalam sirkulasi. haile, ugs
  1. Sintesis Antibodi
Immunoglobulin M (Ig M) diproduksi oleh pulpa putih yang berespon terhadap antigen yang terlarut dalam sirkulasi
  1. Proteksi terhadap infeksi
Splenektomi akan menyebabkan banyak pasien yang terpapar infeksi, seperti fulminan sepsis. Mengenai bagaimana mekanismenya sampai saat ini belum diketahui sepenuhnya.
  1. Tempat Penyimpanan
Pada dewasa normal sekitar sepertiga (30 % ) dari pletelet akan tersimpan dalam limpa.

Imaging Pada Trauma Limpa (Trauma tumpul abdomen)
Computed Tomography Scan (CT-Scan) Abdomen
Meskipun banyak pemeriksaan radiologi yang dapat diusulkan pada trauma limpa, CT-Scan merupakan modalitas radiografi utama yang sering digunakan oleh sebagian besar rumah sakit. CT-Scan yang digunakan sebaiknya bersamaan dengan kontras secara intravena untuk memaksimalkan perbedaan densitas antara parenkim limpa dan hematoma. Pemeriksaan ini memberikan penilaian limpa dan jaringan sekitar yang terbaik. Tujuan tambahan dari pemeriksaan ini adalah kemampuannya dalam melihat semua organ-organ abdomen secara bersamaan yang juga kemungkinan terkena trauma sekunder.(17)
Keterbatasan penggunaan pemeriksaan ini sangat sedikit tapi sangat penting. Keterbatasan yang mengganggu tingkat kepercayaan interpretasi dari CT-scan adalah gerakan pada waktu pengambilan foto. Sensitifitas pemeriksaan ini menurun jika pasien tidak dalam keadaan diam pada meja scan. Sedasi yang adekuat sangat penting dilakukan pada beberapa pasien. Secara keseluruhan sensitivitas dan spesifisitas dari pemeriksaan ini dalam mendeteksi trauma limpa mendekati 100%, sesuai dengan beberapa pengalaman para ahli. Beberapa kekurangan dari pemeriksaan ini biasanya dihasilkan oleh misinterpretasi informasi.(17)
Sistem klasifikasi derajat trauma limpa telah beberapa kali dibuat, yang pertama kali dibuat oleh Buntain dan kawan-kawan. Berdasarkan American Association For The Surgery Of Trauma (1994), klasifikasi derajat dari trauma limpa adalah sebagai berikut :(17)
- Derajat 1 :
   a. Terdapat hematoma subkapsuler kurang 10% pada area permukaan.
   b. Ukuran kapsul kurang dari 1 cm.
- Derajat 2 :
  a. Hematoma subkapsuler sekitar 10-50% pada area permukaan.
  b. Diameter hematoma intraparenkim kurang dari 5 cm.
  c. Ukuran laserasi sekitar 1-3 cm dan tidak mengenai pembuluh darah trabekula.
- Derajat 3 :
  a. Hematoma subkapsuler lebih dari 50% area permukaan atau terdapat rupture subkapsuler atau hematoma parenkim.
  b. Hematoma intraparenkim lebih dari 5 cm atau lebih.
  c. Ukuran laserasi lebih dari 3 cm dan mengenai pembuluh darah trabekula.
- Derajat 4 : Laserasi pada bagian segmental atau hillum pembuluh darah dengan devaskularisasi limpa yang lebih dari 25%.
- Derajat 5 : Limpa mengalami kerusakan atau trauma pada hilum pembuluh darah.
Ultrasonografi (USG) Abdomen
Tujuan utama penggunaan USG limpa dalam pemeriksaan trauma tumpul abdomen adalah untuk mengetahui adanya darah dalam kuadran kiri atas.
Darah akut akan terlihat sebagai gambaran hiperechoic dan dapat anechoic. Untuk membedakan darah yang terdapat pada subkapsuler dan perisplenik cukup sulit, tetapi terdapat beberapa perbedaan seperti berikut :
- Gambaran bulan sabit halus yang memenuhi garis tepi limpa, dipertimbangkan sebagai perdarahan subkapsuler.
- Darah yang terdapat pada ekstrakapsuler biasanya berbentuk ireguler.
- Meskipun efek massa dapat dihasilkan oleh kedua kasus, darah pada subkapsuler lebih dapat mengubah bentuk limpa.
- Membran pada perdarahan subkapsuler biasanya sangat tipis dan tidak dapat digambarkan. Oleh karena itu, jika ditemukan gambaran seperti itu, diagnosis lainnya dapat disingkirkan.
Dalam beberapa jam, pembekuan darah akan terjadi. Echogenisitas akan meningkat sebagai thrombus. Hematoma yang matur memperlihatkan echogenisitas yang sama atau lebih tipis dibandingkan jaringan parenkim dan tanda-tanda ini akan bertahan sekitar 48 jam sampai lisis dimulai. Fase echogenik didapatkan ketika foto dilakukan pada waktu keadaan akut. Sebagai hasil lisis, hematoma akan kembali ke echogenisitas cairan, dan keadaan patologi dapat kembali dilihat dengan jelas.
Abnormalitas parenkim limpa biasanya tidak terlihat (sangat halus). Gambaran laserasi dari parenkim terlihat sebagai daerah hiperechoic, yang dapat berbentuk ireguler atau linear. Pada infark limpa akan terlihat gambaran yang sama, tetapi biasanya hal ini memiliki makna yang lebih baik.

Indikasi untuk splenektomi
Indikasi operasi (Modul)
-        ruptur lien grade III dengan hemodinamik tidak stabil
-        ruptur lien grade IV-V

Indikasi dilakukannya splenektomi dapat dilihat sebagai berikut.
1. Elektif :
- Kelainan hematologis
- Bagian dari bedah radikal dari abdomen atas
- Kista/tumor limpa
- Penentuan stadium limfoma (jarang dikerjakan)
2. Darurat:
- Trauma
Pendekatan terhadap limpa yang ruptur berbeda dari suatu splenektomi elektif. Pasien yang mengalami trauma limpa harus ditangani pertama kali dengan protokol ATLS (advanced trauma life support) dengan kontrol jalan napas,pernapasan dan sirkulasi. Bilas peritoneum atau pemeriksaan radiologis harus digunakan untuk menilai cedera abdomen sebelum operasi.
Kontraindikasi open splenektomi
  1. Tidak ada kontraindikasi absolute terhadap splenektomy
  2. Terbatasnya harapan hidup dan pertimbangan resiko operasi



Teknik Operasi (Sumber : Modul)
SPLENEKTOMI DAN SPLENORAFI
- Posisi pasien supinasi, dilakukan anestesi general
- Dilakukan tindakan aseptik pada seluruh abdomen dan dada bagian bawah
- Lapangan operasi dipersempit dengan linen steril
- Dilakukan insisi dilinea mediana mulai dari proses xiphardern hingga subrapubis
- Insisi diperdalam hingga mencapai cavum peritaneum
- Darah yang ada dalam cavum peritoneum dihisap keluar sehingga lien tampak jelas
- Pasang beberapa kasa tebal di postera lateral lien sehingga lien terdorong ke arah apevator
- Identifikasi hilus lien, lakukan kompresi, sehingga perdarahan dapat dikontrol
- Dilakukan evaluasi derajat cidera lien
- Bila derajat ruptur grade I, II atau III dapat dilakkan penyakit dengan benang chronic git 2-0
- Bila derajat ruptur gradr IV atau lebih, dilakukan pemasangan beberapa klem pada hilus lien. Vasa lienalis, vasugostrica brevis dan ligamentum gastrosplemik dipotong sedekat mungkin dengan lien
- Selanjutnya ligamentum splenokolik, splenorektal, splenophonik diklem dan dipotong. Lien dibebaskan dari perekatannya dengan jaringan retroperitoneal
- Evaluasi sumber-sumber perdarahan dan lakukan hemostasis secara cermat
- Cavum peritoneum dibersihkan dari sisa-sisa perdarahan denganNael steril
- Luka operasi ditutup lapis demi lapis

Open splenektomi (Sumber : Atlas Teknik Bedah Umum)
Langkah pertama dan terpenting adalah memotong ligamen lieno-renalis. Dengan berdiri di sebelah kanan pasien, dan dengan asisten menarik perlahan pinggir kiri dari luka operasi, jalankan satu tangan pada limpa ke bawah sampai ligamen lieno-renalis. Dengan lembut, tarik limpa dan potong ligamen lieno-renalis, mulai dari bagian bawah dan bergerak ke atas kutup atas dengan menggunakan gunting dengan gagang panjang.
Sekarang geser limpa ke atas dengan tangan kiri dan perlahan-lahan dorong peritoneum dengan swab pada stick.. Jaringan terus disapu dari belakang limpa, saat limpa dibawa ke arah luar. Kemudian omentum bisa dilepas dari katup bawah dengan memotong vasa gastroepiploica sinsitra antara forsep arteri dan ligasi dengan benang serap. Pada tahap ini, vasa brevia yang berjalan dari kutup atas limpa ke lambung melalui ligamen gastro-lienalis harus diikat dan dipotong sendiri-sendiri. Jaga untuk tidak merusak lambung.
Kemudian perhatian dialihkan ke pembuluh limpa. Jalankan beberapa jari kiri ke sekeliling hilus dan palpasi cabang-cabang arteri lienalis saat arteri tersebut memasuki limpa. Dengan ibu jari pada kauda pankreas untuk melindunginya, klip dan pisahkan cabang-cabang ini beserta vena-venanya.Selanjutnya sisa ligamen gastro-lienalis bisa dipotong. Limpa bisa diangkat dan pembuluh-pembuluh utama diikat rangkap dua, arteri sebelum vena. Suction drain ditempatkan pada rongga subfrenik dan dinding abdomen ditutup lapis demi lapis.


Splenektomi darurat
Pada kasus ruptur limpa, perdarahan massif bisa mengaburkan inspeksi. Prosedur pertama adalah mengevakuasi bekuan secara manual dan dengan bantuan suction. Jalankan tangan anda ke hilus untuk mengendalikan perdarahan dengan menekan arteri dan vena lienalis di antara telunjuk dan ibu jari. Jika perdarahan tidak berhenti, gunakan klem non-crushing untuk menjepit hilus. Ini memungkinkan penilaian terhadap tingkat kerusakan limpa. Jika tatalaksana konservatif tidak berhasil, maka harus dilakukan splenektomi formal.

Komplikasi splenektomi
I. Komplikasi sewaktu operasi
A. Trauma pada usus.
  1. Usus. Karena flexura splenika letaknya tertutup dan dekat dengan usus pada lubang bagian bawah dari limpa, ini memungkinkan usus terluka saat melakukan operasi.
  2. Perlukaan pada gaster dapat terjadi sebagai trauma langsung atau sebagai akibat dari devascularisasi ketika pembuuh darah pendek gaster dilepas.
B. Perlukaan vaskular adalah komplikasi yang paling sering pada saat melakukan operasi.
dapat terjadi sewaktu melakukan hilar diseksi atau penjepitan capsular pada saat dilakukan retraksi limpa.
C. Bukti penelitian dari trauma pancreas terjadi pada 1%-3% dari splenektomi dengan melihat tigkat enzim amylase. Gejala yang paling sering muncul adalah hiperamilase ringan, tetapi tidak berkembang menjadi pankreatitis fistula pankeas, dan pengumpulan cairan dipankreas.
D. Trauma pada diafragma. Telah digambarkan selama melakukan pada lubang superior tidak menimbulkan kesan langsung jika diperbaiki. Pada laparoskopi splenektomi, mungkin lebih sulit untuk melihat luka yang ada di pneomoperitoneum. Ruang pleura meruapakan hal utama dan harus berada dalam tekanan ventilasi positf untuk mengurangi terjadinya pneumotoraks.

II. Komplikasi setelah operasi
1. Koplikasi pulmonal hampir terjadi pada 10% pasien setelah dilakukan open splenektomi, termasuk didalamnya atelektasis, pneumonia dan efusi pleura.
2. Abses subprenika terjadi pada 2-3% pasien setelah dilakukan open splenektomi. Tetapi ini sangat jarang terjadi pada laparoskopi splenektomi (0,7%). Terapi biasanya dengan memasang drain di bawak kulit dan pemkaian antibiotic intravena.
3. Akibat luka seperti hematoma, seroma dan infeksi pada luka yang sering terjadi setelah dilakukan open splenektomi adanya gangguan darah pada 4-5% pasien. Komplikasi akibat luka pada laparoskpoi splenektomi biasanya lebih sedikit (1,5% pasien).
4. Komplikasi tromsbositosis dan dan trombotik. Dapat terjadi setelah dilakukan laparoskopt splenektomi.
5. Ileus dapat terjadi setelah dilakukan open splenektomi, juga pada berbagai jenis operas intra-abdominal lainnya.
6. Infeksi pasca splenektomi (Overwhelming Post Splenektomy Infection) adalah komplikasi yang lambat terjadi pada pasien splenektomi dan bisa terjadi kapan saja selama hidupnya. Pasien akan merasakan flu ringan yang tidak spesifik, dan sangat cepat berubah menjadi sepsis yang mengancam, koagulopati konsumtif, bekateremia, dan pada akhirnya dapat meninggal pada 12-48 jam pada individu yang tak mempunyai limpa lagi atau limpanya sudah kecil. Kasus ini sering ditemukan pada waktu 2 tahun setelah splenektomi.
7. Splenosis, terlihat adanya jaringan limpa dalam abdomen yang biasanya terjadi pada setelah trauma limpa.
8. Pancreatitis dan atelectasis.

Usaha pencegahan akibat infeksi yang bisa terjadi akibat splenektomi.
Infeksi pasca splenektomi biasanya sering disebabkan oleh bakteri tak berkapsul yaitu Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae, dan Neisseria meningitides. Patogen lainnya seperti Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa, Canocytophagia canimorsus, group B streptococci, enterococcus spp, dan protozoa seperti plasmodium.
Infeksi Post-splenektomi pertama kali dituliskan oleh King dan Schumaker 1952. Insiden ini diperkirakan antara 0,18-0,42% pertahun, dengan resiko seumur hidup 5%. Dari 78 studi yang telah dilakukam oleh Bisharat dkk, tahun 1966-1996. Terdapat 28 data yang berhubuingan dengan insiden, angka kehidupan dan kematian dan dampak dari infeksi pada usia yang berbeda-beda. Dari 19680 pasien yang telah dilakukan splenektomi, 3,2% berkembangmenajdi infeksi yang infasif, dan 1,4% meninggal. Waktu antara terjadinya splenektomi dan infeksi rata-rata antara 22,6 bulan. Insiden infeksi tertinggi terjadi pada pasien dengan tallasemia mayor (8,2%) dan sikel sel anemia (7,3%) dibanding dengan pasien yang mengalami idiopatik trombositopenia (2,1%), dan pada anak dengan tallasemia mayor (11,6%), sikel sel anemia (8,9%) dibandingkan pada pasien dewasa dengan penyakit yang sama (7,4% dan 6,4%).
Infeksi dari post splenektomi dapat dicegah dengan memberikan pendekatan pada pasien dan imunisasi rutin, pemberian antibiotic profilaksis, edukasi dan penanganan infeksi yang segera.

 

PERAWATAN PASCA SPLENEKTOMY

Banyak pasien yang tidak mengalami komplikasi post splenektomy. Pada umumnya jumlah trombosit meningkat sangat tajam sampai 2 juta per mm3 dan tidak diperlukan terapi khusus selain hidrasi yang cukup. Jika diperlukan dapat diberikan obat pencegah agregasi platelet seperti asam salisilat, dipridamol, dekstran atau jika pasien resiko tinggi dipakai heparin (trunkey, 1990; Schwartz, 1997). Penulis lain mengatakan bahwa jika jumlah trombosit lebih dari 1 juta mm3 sebaiknya deberikan aspirin dosis rendah atau heparin (Danne, 1999; Irving, 1996). Pasien yang mengalami efusi dan kolapnya lobus bawah paru kiri biasanya memberikan respon yang baik dengan fisioterapi.  
Peningkatan insidensi sepsis umumnya disebabkan oleh H influenza, pnemokokkus, meningikokkus, Stapilokokkus dan H influenza pada anak perlu diberikan antibiotika propilaksi melawan H influenza sampai dewasa (Schwartz, 1997). Amoksilin 250 mg perhari atau penoksimetilpenisilin 250 mg 2 kali sehari dapat diberikan, walaupun belum ada kesepakatan apakah obat ini akan diberikan selama hidup atau 5 tahun saja. Waktu pemberian vaksinasi masih kontroversi. Beberapa penulis merekomendasikan anatara 3 sampai 4 minggu pasca operasi. Dan setelah 5 tahun dilakukan vaksinasi ulang pnemovax (Boone and Peitzman, 1998).

Autotransplantasi Limpa

Autotransplantasi masih merupakan kontroversi pada penanganan trauma limpa. Sebaiknya autoransplantasi dilakukan, karena ada beberapa bukti fungsi sebagian limpa dapat kembali yaitu sebagai penyaring sel darah merah. Produksi opsonin kemungkinan sedikit sekali atau bahkan tidak ada lagi, tetapi hal ini masih diperdebatkan.
Terdapat juga bukti bahwa penanaman jaringan limpa secara luas pada peritoneum atau SPLENOSIS tidak melindungi pasien dari overwhelming infeksi Splenosis dapat terjadi diseluruh abdomen dan paling sering ditemukan secara kebetulan saat laparatomy oleh sebab lain. Splenosis berbeda dengan limpa asesoria secara histologis yakni kehilangan elastisitas dan serabut otot polos pada kapsulnya. Beberapa fakta menyatakan bahwa limpa hasil implan tidak dapat terjadi bila tidak tersedia massa jaringan yang baik dan adanya vaskularisasi yang sangat berbeda dari sirkulasi limpa yang normal (Schwartz).
Reimplantasi merupakan aurotransplantasi jaringan limpa yang dilakukan setelah splenektomy. Caranya ialah dengan membungkus irisan parenkim limpa dengan slices 1-mm (Boone and Peitzman, 1998) diameter ± 0,5 cm (Schwartz, 1997) dengan omentum atau menanamnya di pinggang belakang peritoneum (Karnadiharja, 1997). Viabilitas dari hasil implantasi ditunjukkan dengan kembalinya tuftsin, opsonin komplemen, dan lg M ke level normal (Schwartz, 1997), radionuclide scan 3-4 bulan post operasi untuk melihat fungsi, ukuran , dan lokasinya ( Skandalakis, 1995)  Fakta menunjukkan bahwa autotransplantasi jaringan limpa pada omemtum pada akhirnya fungsi limpa secara imunologis akan baik. Sebuah tinjauan tentang masalah ini manyimpulkan bahwa studi pada manusia dan binatang yang dilakukan autotransplantasi limpa relatif aman dan mudah dilakukan yang memulihkan kelevel dasar beberapa parameter hematologi dan imunologi. Beberapa aspek dari fungsi reticuloendotelial juga membaik. Studi radiosotop menunjukan pada banyak pasien autotransplantasi pada omentum majus menghasilkan jaringan yang tumbuh secara bermakna.

PENANGANAN EDEMA PARU AKUT

PENANGANAN EDEMA PARU AKUT

 
Pendahuluan
Edema Paru Akut (EPA) adalah akumulasi cairan di paru-paru yang terjadi secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular yang tinggi (edema paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler (edema paru non kardiak) yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan dengan cepat.
Edema paru kardiogenik akut merupakan gejala yang dramatik ditandai dengan derajat transudasi cairan dengan kandungan protein yang rendah ke paru dari kejadian gagal jantung kiri yang akut. Hal ini dapat diakibatkan oleh gangguan pada jalur keluar dari atrium kiri, peningkatan volume yang berlebihan di ventrikel kiri, disfungsi diastolik atau sistolik dari ventrikel kiri atau obstruksi pada jalur keluar dari ventrikel kiri. Akibat akhir yang ditimbulkan adalah hipoksia berat.

Diagnosis
Manifestasi klinis : sesak napas hebat yang dapat disertai sianosis, berkeringat dingin, batuk dapat disertai dahak yang berwarna kemerahan (pink frothy sputum), pasien merasa ketakutan. Pasien bisanya dalam posisi duduk atau sedikit membungkuk kedepan.
Pemeriksaan Fisik : frekuensi napas meningkat, dilatasi ala nasi, akan terlihat retraksi inspirasi pada sela interkostal dan fossa supraklavikula yang menunjukkan tekanan negatif intrapleural yang besar dibutuhkan saat inspirasi. Pada pemeriksaan paru didapatkan ronki basah kasar setengah lapangan paru atau lebih, sering disertai wheezing. Pemeriksaan jantung dapat ditemui protodiastolik gallop, bunyi jantung II pulmonal mengeras.
Radiologis : foto thorax menunjukkan hilus yang melebar dan densitas meningkat disertai tanda bendungan paru, akibat edema interstitial atau alveolar.
EKG : Pasien dengan edema paru kardiogenik yang non-iskemik biasanya menunjukkan gambaran gelombang T negatif yang lebar dengan QT memanjang yang khas, dimana akan membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil. Pasien dengan krisis hipertensi biasanya menunjukkan gambaran hipertrofi ventrikel kiri.

Penatalaksanaan
Manajemen edema paru akut harus segera dimulai setelah diagnosis ditegakkan, meskipun pemeriksaan untuk melengkapi anamnesis dan pemeriksaan fisik masih berlangsung. Manajemen EPA dilakukan dengan langkah-langkah terapi berikut yang biasanya dapat dilakukan secara bersamaan :

Posisi dan Terapi Oksigen
Pasien diposisikan dalam keadaan duduk atau setengah duduk. Oksigen (40-50%) segera diberikan sampai dengan 8 L/menit, untuk mempertahankan PO2, kalau perlu dengan masker. Jika kondisi pasien semakin memburuk, timbul sianosis, makin sesak, takipneu, ronki bertambah, PO2 tidak bisa dipertahankan ≥60 mmHg, atau terjadi kegagalan mengurangi cairan edema secara adekuat, maka perlu dilakukan intubasi endotrakeal, dan penggunaan ventilator.
Efek terapi : Oksigen konsentrasi tinggi akan meningkatkan tekanan intraalveolar sehingga dapat menurunkan transudasi cairan dari kapiler alveolar dan mengurangi aliran balik vena (venous return) ke toraks , mengurangi tekanan kapiler paru.

Morfin Sulfat
Morfin diberikan secara intravena dengan dosis 2-5 mg. Dapat diulangi tiap 15 menit. Sampai total dosis 15 mg biasanya cukup efektif.
Efek terapi : obat ini mengurangi kecemasan, mengurangi rangsang vasokonstrikstor adrenergik terhadap pembuluh darah arteriole dan vena. Obat ini dapat menyebabkan depresi pernapasan, sehingga nalokson harus tersedia.

Nitroglycerin dan Nitroprusside
Nitroglycerin sublingual 0,4-0,6 mg (dapat diulangi setiap 5 menit). Jika pasien tidak respon atau EKG menunjukkan tanda-tanda iskemik, nitroglycerin dapat diberikan melalui drip intravena 10-30 ug/menit dan dititrasi.
Pada pasien dengan hipertensi resisten dan tidak berespon baik dengan pemberian nitroglycerin, dapat diberikan nitroprusside dimulai dengan dosis 2,5 ug/kgBB/menit dan dititrasi.

Diuretik loop intravena
Diberikan furosemid 40-80 mg i.v. bolus atau bumetanide 0,5 – 1 mg iv, dapat diulangi atau dosis ditingkatkan setelah 4 jam atau dilanjutkan dengan drip kontinu sampai dicapai produksi urin 1 ml/kgBB/jam. Selama terapi ini elektrolit serum dimonitor terutama kalium.

Inotropic
Pada pasien dengan hipotensi atau pasien yang membutuhkan tambahan obat-obatan inotropic, dapat dimulai dengan Dopamin dosis 5-10 ug/kg/menit dan dititrasi sampai mencapai tekanan sistolik 90-100 mmHg. Dopamin dapat diberikan sendiri atau dikombinasikan dengan dobutamin yang dimulai dengan dosis 2,5 ug/kgBB/menit dan dititrasi sampai terjadi respon klinis yang diinginkan.

Aminofilin
Kadang-kadang aminofilin 240-480 mg intravena efektif mengurangi bronkokonstriksi, meningkatkan aliran darah ginjal dan pengeluaran natrium dan memperkuat konstraksi miokard.

Obat trombolitik : atau revaskularisasi pada pasien dengan infark miokard akut.

Setelah dilakukan tindakan terapetik darurat dan mengobati faktor pemicu, diagnosis kelainan jantung yang mendasari yang menyebabkan edema paru harus ditegakkan jika sebelumnya belum diketahui. Setelah stabilisasi keadaan pasien, harus dibuat strategi jangka panjang untuk mencegah edema paru di masa mendatang.




REFERENSI
Eugene B. Heart Failure, Acute Pulmonary Edem. In: KJ Isselbacher, Eugene Braunwald, Jean DW, Anthony S Fauci, Dennis L Kasper. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Mc-Graw-Hill Companies. Singapore. 2003.p. 1138-1139.
John Ma, David MC. Emergency Medicine, Just the Facts. American College of Emergency Physicians. McGrawHill Companies United States. International Edition, 2004. P 99-101.
Keith S, Roger LH. Current Essentials of Emergency Medicine. Internatinal Edition 2005. McGraw-Hill Companies United States.
Sjaharudin H, Sally N. Edema Paru Akut. In: Aru W Sudoyo, Bambang Setyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simardibrata K, Siti Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi Keempat. Jakarta : PB.PAPDI; 2006. p. 1920-1923.