Sabtu, 15 Desember 2012

Tumor Phyllodes

Tumor phyllodes adalah suatu neoplasma fibroepitelial yang jarang ditemukan. Insidensinya hanya sekitar 0,3%-0,9% dari seluruh tumor payudara, sedangkan frekuensi lesi maligna bervariasi sekitar 5 – 30%. Tumor phyllodes dulu dikenal dengan nama “cystosarcoma phyllodes” yang dikemukakan pertama kali oleh Johannes Muller pada tahun 1838, untuk menunjukkan tumor yang secara makroskopik menyerupai daging  dengan gambaran leaflike pada potongan melintangnya. Ada juga yang menyebutnya sebagai “giant fibroadenoma”, ”cellular intrcanalicular fibroadenoma” dan masih ada beberapa nama lain. Penyebutan sebagai suatu “sarcoma” dianggap kurang tepat, karena phyllodes tidaklah selalu bersifat ganas. Saat ini penamaan yang dipakai adalah menurut World Health Organisation, 1982 yaitu tumor phyllodes sebagai penamaan yang paling sesuai. Etiologi dari tumor phyllodes sampai sekarang masih belum jelas apakah berasal dari fibroadenoma yang sudah ada sebelumnya atau de novo. 1,2,3

Karakteristik Tumor
Gambaran Makroskopik
            Sebagian besar tumor phyllodes berupa massa yang berbentuk bulat sampai oval, multinodular, tanpa disertai kapsul yang jelas. Ukuran bervariasi, dari 1-40 cm. Sebagian besar tumor berwarna abu-abu-putih dan menonjol dari jaringan payudara sekitar. Pada tumor yang berukuran besar, nekrosis dengan perdarahan dapat terjadi. Sebagian besar tumor tipe benign dapat menyerupai fibroadenoma.4 Banyak pula peneliti yang menemukan tumor ini dengan ukuran kurang dari 5 cm. Oleh karena itu diagnosa tumor phyllodes tidak dapat hanya dibuat berdasarkan ukurannya saja. Jika tumor besar, pada penampang tampak celah-celah yang memanjang (leaf-like appearance) yang merupakan tanda khas pada tumor phyllodes dan kadang-kadang tampak daerah nekrotik, perdarahan dan degenerasi kistik. 5

Gambaran Mikroskopik
            Tumor phyllodes memiliki gambaran histopatologi yang luas, dari gambaran yang menyerupai fibroadenoma hingga bentuk sarcoma. Seperti fibroadenoma, gambaran phyllodes berupa campuaran dari stroma dan epitel. 4
Norris dan Taylor mengemukakan kriteria histopatologi yang berguna untuk memprediksi tumor yang berkemungkinan menjadi jenis malignant. Meliputi pertumbuhan stroma yang berlebihan, nuclear pleomorpism, kecepatan mitosis yang tinggi, dan infiltrasi pada margin. Penelitian lain juga menunjukkan adanya tingkat nekrosis yang tinggi dan peningkatan vaskularisasi pada tumor. Tumor dipastikan malignant jika komponen stroma dominasi sarcoma. Sebagian besar, 10-40% tumor jenis ini memiliki kemungkinan untuk mengalami rekurensi lokal dan menyebar secara sistemik. 1,4
Menurut beberapa penelitian ditemukan adanya mutasi tumor suprpresor gen p53 pada tumor phyllodes. Stromal immunoreactivity p53 terbukti meningkat pada tumor phyllodes ganas sehingga dapat digunakan untuk membedakan dengan fibroadenoma. Sedangkan menurut penelitian Sawyer EJ dkk didapat hasil bahwa overekspresi c-myc dapat memicu proliferasi stroma pada tumor phyllodes ganas sedangkan overekspresi c-kit menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan tumor. 5

Klasifiasi Tumor Phyllodes
Pada tahun 1981 WHO mengadopsi penamaan tumor phyllodes dan membaginya menjadi tipe benign, borderline, dan malignant berdasarkan karakteristik stroma. Karakteristik tersebut berupa derajat atipikal selular stroma, aktivitas mitosis per-10 lapang pandang besar, ada tidaknya overgrowth  stroma, dan batas tumor yang infiltrative atau batas tumor yang tegas. Tumor phyllodes tipe benign memiliki atipikal seluler ringan sampai sedang, dengan peningkatan sel-sel stroma. Ratio mitosis yang tinggi (10 atau lebih mitosis dalam 10 lapang pandang besar), adanya infiltrasi, dan overgrowth dari stroma. Oleh banyak penelitian Overgrowth stroma telah dihubungkan dengan aktivitas metastasis, yang tidak terdapat pada tipe benign dan borderline. 3,6

Insidensi
Tumor Phyllodes merupakan termasuk jenis tumor payudara yang jarang, 0,3%-0,5% dari total tumor payudara. Sebuah penelitian pada 8.567 pasien tumor payudara pada tahun 1969 sampai 1993, hanya ditemukan 31 kasus tumor Phyllodes (0,37%). Secara keseluruhan 2,1 kasus per satu juta wanita. Tumor Phyllodes sangat jarang pada laki-laki, namun pernah terdapat laporan tumor Phyllodes pada laki-laki. Sebagian besar kasus tumor Phyllodes terjadi pada dekade ke-4. Namun tumor Phyllodes dapat terjadi pada semua umur. Namun jarang terjadi pada remaja. Tumo biasanya jinak namun dapat terjadi rekurensi local dan terkadang dapat menyebar secara sistemik. Tumor Phyllodes bilateral (baik sinkronous atau metakronous) jarang terjadi, walaupun sudah terdapat laporan kasusnya. Belum terdapat identifikasi faktor risiko yang jelas pada tumor Phyllodes. Pasien dengan mutasi P53 memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya tumor Phyllodes. 3,4,5

Manifestasi Klinis
            Manifestasi klinis tumor Phyllodes umumnya unilateral, tunggal, tidak disertai nyeri, dengan benjolan yang dapat teraba. Pasien biasa menyampaikan tumor yang tiba-tiba muncul dan terus menerus mengalami pembesaran. Atau berupa benjolan yang awalanya menetap dan tiba-tiba tumbuh bertambah besar dalam beberapa bulan terakhir. Pada pemeriksaan fisik payudara, tumor Phyllodes berupa benjolan yang lunak dan bulat, mirip dengan fibroadenoma, namun dengan ukuran yang besar (>2-3 cm). 3,4
Tumor dapat terlihat dengan jelas jika membesar dengan cepat. Walaupun membesar dengan cepat tidak mengindikasikan sifatnya yang ganas. Bentuknya yang terlihat mengkilat dengan permukaan kulit seperti teregang dengan pelebaran vena pada permukaan kulit. Pada kasus-kasus yang tidak tertangani dengan baik, dapat terjadi luka borok pada kulit akibat dari iskemia jaringan. Walaupun perubahan kulit seperti ini layaknya pada tumor payudara selalu menunjukkan tanda-tanda keganasan (lesi T4), namun tidak pada tumor Phyllodes. Karena adanya borok pada kulit dapat terjadi pada jenis lesi yang jinak, borderline ataupun ganas. Adanya retraksi pada putting tidak umum terjadi. Adanya ulserasi mengindikasikan nekrosis jaringan akibat penekanan tumor yang besar. 3,4
Metastasis dapat muncul secara bersamaan saat pasien datang atau paling tidak hingga 12 tahun ke depan. Metastasis dapat menyebar secara hematogen, menyebar ke paru-paru (66%), tulang (28%), otak (9%) dan pada kasus yang lebih jarang pada hati dan jantung. (8) Dapat disertai pembesaran limfenodi regional, walaupun tanpa sel tumor. 1
Tidak banyak literature yang melaporkan adanya metastase limfonodi. Treves pada 33 kasus, hanya melaporkan 1 kasus metastase ke limfonodi axilla. Noris dan Taylor dari 94 pasien, 16 pasien mengalami pembesaran limfonodi, namun hanya 1 kasus yang terbukti secara histologi mengalami metastase. Reinfus menemukan 11 kasus pembesaran limfonodi dari 55 kasus, namun hanya 1 kasus yang yang menunjukkan metastase. Minkowitz juga melaporkan satu kasus dengan dengan metastase kelenjar axilla. 1,3
            Mamografi pada 75% kasus menunjukkan hasil abnormal, dan sering menyerupai gambaran fibroadenoma. Dari ultrasonografi menunjukkan massa homogen yang solid dan disertai dengan internal echo, dan berdinding tipis. 6


Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tumor phyllodes masih menjadi ajang perdebatan dan tidak dapat disamakan pada semua kasus. Terapi paling utama adalah pembedahan secara komplit dengan batas yang adekuat. Banyak penelitian yang meganjurkan bahwa batas eksisi 1 cm dapat dianggap sebagai reseksi yang baik. Mangi dkk menyebutkan bahwa terjadinya rekurensi berkaitan dengan margin eksisi dan tidak berkaitan dengan grade dan ukuran tumor. Eksisi luas pada tumor kecil atau mastektomi simple pada umumnya menunjukkan hasil yang memuaskan. Eksisi pada otot-otot pektoral perlu dipertimbangkan jika telah terjadi infiltrasi. 4
Tumor phyllodes sama halnya dengan sarcoma jaringan lunak yang jarang mengalami metastase KGB. Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa diseksi KGB axilla tidak rutin dilakukan, mengingat jarangnya  infiltrasi KGB axilla. Norris dan Taylor menganjurkan mastektomi dengan diseksi KGB axilla bagian bawah, jika terdapat pembesaran KGB, tumor ukuran >4cm, biopsi menunjukkan jenis tumor yang agresif (infiltrasi kapsul, kecepatan mitosis yang tinggi, dan derajat selular atipikal yang tinggi).  Jika terindikasi keterlibatan KGB secara klinis atau pemeriksaan imaging, biopsy jarum dapat dilakukan dengan panduan USG. Jika hasilnya negative, biopsi sentinel limfonodi dapat dipertimbangkan. 1,4
            Peran dari radioterapi dan kemoterapi adjuvan belum begitu jelas dan masih kontroversial, namun penggunaan radioterapi dan kemoterapi pada sarcoma mengindiasikan bahwa keduanya dapat digunakan pada tumor phyllodes. Chaney dkk menemukan bahwa radioterapi adjuvant dapat bermanfaat pada kasus tipe malignant. Kemoterapi dengan golongan anthracycline, ifosfamide, cisplatin, dan etoposide pada banyak penelitian sebelumnya cukup jarang digunakan. Belum banyak penelitian tentang penggunaan terapi hormonal, seperti tamoxifen pada tumor phyllodes. Akhirnya secara garis besar, terapi sistemik pada tumor phyllodes tidak berbeda dengan terapi pada sarcoma. 1,4,6



Rekurensi
            Rekurensi lokal dapat terjadi pada 28-50% kasus. Faktor yang paling berperan dalam terjadinya rekurensi adalah batas bebas reseksi tumor yang kurang dari 1-2 cm. Umur pasien, tipe pembedahan, peningkatan aktivitas mitosis dan aktivitas jaringan stroma yang berlebihan juga dianggap sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya rekurensi lokal. Dalam penelitian lain juga disebutkan bahwa ukuran tumor, pertumbuhan jaringan stroma yang berlebihan dan batas bebas tumor yang < 1cm sebagai faktor risiko terjadinya rekurensi lokal. 7

Daftar Pustaka 
  1. Agrawal PP, Mohanta PK, Singh K, Bahadur AK. Cystosarcoma phyllodes with lymph node metastasis. CommunityOncology.  2006;3: 44-46.  
  2. Akin M, et al. Phyllodes tumor of the breast; a case series. Bratisl Lek Listy. 2010;111: 271-274. 
  3. Flynn LW, Borgen PI. Phyllodes tumor: about this rare cancer. CommunityOncology.  2006;3:46-48. 
  4. Calhoun KE et al. Phyllodes tumors. In: Harris JR, Lippman ME, Morrow M, Osborne CK. Diseases of the breast, 4th ed. Lipincott Williams & Wilkins. 2009: 781-792 
  5. Juanita, Sungowati NK. Malignant phyllodes tumour of the breast. The Indonesian Journal of Medical Science. 2008;1:101-104. 
  6. Akin M et al. Phyllodes tumor of the breast; a case series. Bratisl Lek Listy. 2010;111: 271-274. 
  7. Bal A, Gunggor B, Polat AK, Simsek T. Recurrent phyllodes tumor of the breast with malignant transformation during pregnancy. The Journal of Breast health. 2012;8: 45-47. 

Rabu, 12 Desember 2012

Invaginasi (Intussusception) pada Dewasa

Definisi
Intususepsi adalah masuknya segmen usus proksimal kerongga lumen usus yang lebih distal sehingga menimbulkan gejala obstruksi pada usus dan berlanjut berlanjut pada strangulasi pada usus. Definisi lain Invaginasi atau intususcepti yaitu masuknya segmen usus (Intesusceptum) ke dalam segment usus di dekatnya (intususcipient). Pada umumnya usus bagian proksimal yang mengalami invaginasi (intussuceptum) memasuki usus bagian distal (intussucipient), tetapi walaupun jarang ada juga yang sebaliknya atau retrograd (Bailey,90)
Paling sering masuknya ileum terminal ke kolon. Intususeptum yaitu segmen usus yang masuk dan intususipien yaitu segmen usus yang dimasuki segmen lain
Invaginasi terjadi karena adanya sesuatu di usus yang menyebabkan peristaltik berlebihan, biasanya terjadi pada anak-anak tetapi dapat juga terjadi pada dewasa.

Klasifikasi
Invaginasi dibedakan dalam 4 tipe :
  • Enterik : usus halus ke usus halus 
  • Ileosekal : valvula ileosekalis mengalami invaginasi prolaps ke sekum dan menarik ileum di belakangnya. Valvula tersebut merupakan apex dari intususepsi  
  • Kolokolika : kolon ke kolon.  
  • Ileokoloika : ileum prolaps melalui valvula ileosekalis ke kolon.
Invaginasi tersering mengenai valvula ileosekalis. Namun masih belum jelas perbandingan insidensi untuk masing-masing jenis intususepsi. Perrin dan Linsay memberikkan gambaran : 39% ileosekal, 31,5 % ileokolika, 6,7% enterik, 4,7 % kolokolika, dan sisanya adalah bentuk-bentuk yang jarang dan tidak khas (Tumen 1964). 

Epidemiologi
Invaginasi dapat ditemukan di semua umur, menurut angka yang pernah dilaporkan penderita invaginasi  0,08% dari semua kasus pembedahan lewat abdomen dan 3% dari kejadian obstruksi usus, angka lain melaporkan 1% dari semua kasus obstruksi usus, 5% dari semua kasus invaginasi (anak-anak dan dewasa),
Invaginasi pada dewasa terutama disebabkan oleh adanya tumor yang menyebabkannya (Dunphy 80). Perbandingan kejadian antara pria dan wanita adalah : 3 : 2 (Swenson,90), pada orang tua sangat jarang dijumpai (Ellis ,90 )      
Etiolog
Pada orang dewasa, penyebab invaginasi diantaranya : 
  • Pertumbuhan tumor, baik ganas maupun jinak. 
  • Perlengketan (adhesi) pada intestine. 
  • Surgical scars pada usus halus atau kolon. 
  • Masalah dengan proses pergerakan makanan pada saluran pencernaan (gangguan motility, seperti irritable bowel syndrome, gastroparesis dan Hirschsprung's disease). 
  • Diare kronis.
Etiologi merupakan hal utama, 80% dari kasus pada dewasa mempunyai suatu penyebab organik, dan 65% dari Intususepsi pada dewasa penyebab terbanyak adalah keadaan patologi pada lumen usus, penderita dewasa biasanya terdapat tumor/neoplasma pada apex intussuception, baik yang bersifat jinak dan atau ganas. Perbedaan kausa antara usus halus dan kolon sebab terbanyak intususepsi pada usus halus adalah neoplasma yang bersifat jinak (diverticle meckel’s, polip) 12/25 kasus. Sedangkan pada kolon adalah bersifat ganas (adenocarsinoma)14/16 kasus. 
Tumor usus halus banyak ditemukan di duodenum, yejunum bagian proksimal dan terminal ileum. Distal yejunum dan proksimal ileum relatif jarang (Leaper 89) dan terbanyak di temukan di terminal ileum (Schrok,88).  Tumor usus halus merupakan 1-5% tumor di dalam saluran pencernaan makanan, hanya 10% yang akan menimbulkan gejala-gejala antara lain perdarahan, penyumbatan atau invaginasi.
Tumor jinak usus halus biasanya adenoma, leyomiomalipoma, hemangioma, ployposis. Sedangkan tumor ganas biasanya carcinoma, carcinoid tumor, sarcoma, tumor metastase (Leaper,89). Oleh karenanya banyak kasus pada orang dewasa harus ditangani dengan anggapan terdapat keganasan. Insidensi tumor ganas lebih tinggi pada kasus yang hanya mengenai kolon saja (Cohn 1976). Etiologi lainnya yang frequensinya labih rendah seperti tumor extra lumen seperti lymphoma, diare, riwayat pembedahan abdomen sebelumnya, inflamasi pada apendiks.
Ada perbedaan etiologi yang mencolok antara anak-anak dan dewasa, pada anak-anak etiologi terbanyak adalah idiopatik yang mana leading pointnya tidak ditemukan sedangkan pada dewasa penyebab terbanyak adalah keadaan patologik intra lumen oleh suatu neoplasma baik jinak maupun ganas sehingga pada saat operasi leading poinnya dapat ditemukan.
Patofisiologi
http://www.mayoclinic.com/images/nav/clear.gif
CLICK TO ENLARGE
http://www.mayoclinic.com/images/nav/clear.gif
Berbagai variasi etiologi yang mengakibatkan terjadinya intususepsi pada dewasa pada intinya adalah gangguan motilitas usus terdiri dari dua komponen yaitu satu bagian usus yang bergerak bebas dan satu bagian usus lainya yang terfiksir/atau kurang bebas dibandingkan bagian lainnya, karena arah peristaltik adalah dari oral-keanal sehingga bagian yang masuk ke  lumen usus adalah yang arah oral atau proksimal. Keadaan lainnya karena suatu disritmik peristaltik usus, pada keadaan khusus dapat terjadi sebaliknya yang disebut retrograd intususepsi pada pasien pasca gastrojejunostomi.
Akibat adanya segmen usus yang masuk kesegmen usus lainnya akan menyebabkan dinding usus yang terjepit sehingga akan mengakibatkan aliran darah menurun dan keadaan akhir adalah akan menyebabkan nekrosis dinding usus.
Perubahan patologik yang diakibatkan intususepsi terutama mengenai intususeptum. Intususepien biasanya tidak mengalami kerusakan. Perubahan pada intususepsi ditimbulkan oleh penekanan bagian ini oleh karena kontraksi dari intususepien, dan juga karena terganggunya aliran darah sebagai akibat penekanan dan tertariknya mesenterium. Edema dan pembengkakan dapat terjadi. Pembengkakan dapat sedemikian besarnya sehingga menghambat reduksi. Adanya bendungan menimbulkan perembesan (ozing) lendir dan darah ke dalam lumen. Ulserasi pada dindidng usus dapat terjadi. Sebagai akibat strangulasi tidak jarang terjadi gangren. Gangren dapat berakibat lepasnya bagian yang mengalami prolaps. Pembengkakan dari intisuseptum umumnya menutup lumen usus. Akan tetapi tidak jarang pula lumen tetap patent, sehingga obstruksi komplit kadang-kadang tidak terjadi pada intususepsi (Tumen 1964).
Invaginasi akan menimbulkan gangguan pasase usus (obstruksi) baik partial maupun total dan strangulasi (Boyd, 1956). Hiperperistaltik usus bagian proksimal yang lebih mobil menyebabkan usus tersebut masuk ke lumen usus distal. Usus bagian distal yang menerima (intussucipient) ini kemudian berkontraksi, terjadi edema. Akibatnya terjadi perlekatan yang tidak dapat kembali normal sehingga terjadilah  invaginasi
Gejala Intussusception yang terjadi pada orang dewasa, tanda-tanda, gejala dan perjalanan penyakitnya dapat berlangsung lama (chronic symptoms), atau dapat terjadi gejala yang hilang timbul (intermittent symptoms). walaupun pasien mungkin akan datang dengan akut abdomen.
 Gejala tersebut diantaranya  : 
  • Frekuensi perubahan gerakan usus 
  • Perasaan urgensi BAB 
  • Pendarahan rectum 
  • Nyeri kram peru
  •  Nyeri pada satu area di abdomen 
  • Distensi abdomen 
  • Mual dan muntah
Diare merupakan suatu gejala awal disebabkan oleh perubahan faal saluran pencernaan ataupun oleh karena infeksi. Diare yang disebut sebagai gejala paling awal invaginasi, didapatkan pada 85% kasus. Pasien biasanya mendapatkan intervensi medis maupun tradisional pada waktu tersebut. Intervensi medis berupa pemberian obat-obatan. Hal yang sulit untuk diketahui adalah jenis obat yang diberikan, apakah suatu antidiare (suatu spasmolitik), obat yang sering kali dicurigai sebagai pemicu terjadinya invaginasi. Sehingga keberadaan diare sebagai salah satu gejala invaginasi atau pengobatan terhadap diare sebagai pemicu timbulnya invaginasi sulit ditentukan.
 Muntah reflektif terjadi tanpa penyebab yang jelas, mulai dari makanan dan minuman yang terakhir dimakan sampai muntah bilus. Muntah bilus suatu pertanda ada refluks gaster oleh adanya sumbatan di segmen usus di bagian. Hal ini menunjukkan telah terjadi suatu obstruksi, gejala ini dijumpai pada + 75% pasien invaginasi. Muntah dan nyeri sering dijumpai sebagai gejala yang dominan pada sebagian besar pasien. Gejala lain berupa kembung, suatu gambaran adanya distensi sistem usus oleh suatu sumbatan didapatkan pada 90% kasus.

Gejala lain yang dijumpai berupa distensi, pireksia, Dance’s Sign dan Sousage Like Sign, terdapat darah samar, lendir dan darah makroskopis pada tinja serta tanda-tanda peritonitis dijumpai bila telah terjadi perforasi. Dance’s Sign dan Sousage Like Sign dijumpai pada ± 60% kasus, tanda ini patognomonik pada invaginasi. Masa invaginasi akan teraba seperti batang sosis, yang tersering ditemukan pada daerah paraumbilikal. Daerah yang ditinggalkan intususeptum akan teraba kosong dan tanda ini disebut sebagai Dance’s Sign. 

Pemeriksaan colok dubur teraba seperti portio uteri (pseudoportio), feces bercampur lendir dan darah pada sarung tangan merupakan suatu tanda yang patognomonik.

Gambaran klinis 
Gambaran klinis invaginasi dewasa umumnya sama seperti keadaan obstruksi usus pada umumnya, yang dapat mulai timbul setelah 24 jam setelah terjadinya intususepsi berupa nyeri perut dan terjadinya distensi setelah lebih 24 jam ke dua disertai keadaan klinis lainnya yang hampir sama gambarannya seperti intususepsi pada anak-anak. Pada orang dewasa sering ditemukan perjalanan penyakit yang jauh lebih panjang, dan kegagalan yang berulang-ulang dalam usaha menegakkan diagnosis dengan pemeriksaan radiologis dan pemeriksaan lain karena tidak terdapat intususepsi pada saat dilakukan pemeriksaan. Intussusepsi yang terjadi beberapa saat sebelumnya telah tereduksi spontan dan rekurensi yang terjadi berganti-ganti. (Cohn, 1976).
Adanya gejala obstruksi usus yang berulang, harus dipikirkan kemungkinan intususepsi. Ini terutama terdiri dari serangan kolik yang berulang, yang seringkali disertai muntah, dan kadang-kadang juga diare. Pada banyak kasus ditemukan pengeluaran darah dan lendir melalui rektum, namun kadang-kadang ini juga tidak ditemukan. Gejala-gejala lain yang juga mungkin didapatkan adalah tenesmus dan anoreksia. Masa abdomen dapat diraba pada kebanyakan kasus, terutama pada saat serangan (Tumen, 1964). 
Gejala klinis yang sering dijumpai berupa nyeri kolik sampai kejang yang ditandai dengan flexi sendi cocsae dan lutut secara intermiten, nyeri disebabkan oleh iskemi segmen usus yang terinvaginasi. Iskemi pertama kali terjadi pada mukosa usus bila berlanjut akan terjadi strangulasi yang ditandai dengan keluarnya mucus bercampur dengan darah sehingga tampak seperti agar-agar jeli darah Terdapatnya darah samar dalam tinja dijumpai pada ± 40%, darah makroskopis pada tinja dijumpai pada ± 40% dan pemeriksaan Guaiac negatif dan hanya ditemukan mucus pada ± 20% kasus. 

Diagnosis
Mendiagnosis invaginasi pada dewasa sama halnya dengan penyakit lainnya yaitu :

Anamnesis :
Pemeriksaan fisik (gejala umum, khusus dan status lokalis seperti diatas).

Pemeriksaan Fisik :
  • Obstruksi mekanis ditandai darm steifung dan darm counter.Obstruksi usus ada 2 :
    Mekanis : kaliber usus tertutup
    Fungsional : kaliber usus terbuka akibat peristaltik hilang
  • Nyeri tekan 
  • Teraba masa di subcostal kanan 
  • Dancen sign (+) berupa Sensai kekosongan pada kuadran kanan bawah karena masuknya sekum pada kolon ascenden 
  • RT : pseudoportio (+), lender darah (+) berupa Sensasi seperti portio vagina akibat invaginasi usus yang lama
Pemeriksaan penunjang :
Pada orang dewasa diagnosis preoperatif keadaan invaginasi  sangatlah sulit, meskipun pada umumnya diagnosis preoperatifnya obstruksi usus kausanya adalah invaginasi, pemerikasaan fisik saja tidaklah cukup sehingga diagnosis memerlukan pemeriksaan penunjang dengan radiologi (Foto polos abdomen, Foto Abdomen 3 posisi, Ultra sonography, Barium Enema dan, Colon in loop), meskipun umumnya diagnosisnya didapat saat melakukan pembedahan.

Pemeriksaan foto polos abdomen, dijumpainya tanda obstruksi dan masa di kwadran tertentu dari abdomen menunjukkan dugaan kuat suatu invaginasi.



Foto abdomen 3 posisi.
Tanda obstruksi (+) : Distensi usus, Air fluid level, Hering bone (gambaran plika circularis usus) 

USG  membantu menegakkan diagnosis invaginasi dengan gambaran target sign pada potongan melintang invaginasi dan pseudo kidney sign pada potongan longitudinal invaginasi. Foto dengan kontras barium enema dilakukan bila pasien ditemukan dalam kondisi stabil, digunakan sebagai diagnostik maupun terapetik.


Barium enema dapat memberi konfirmasi diagnosis berdasarkan riwayat yang khas dan pemeriksaan fisik pada penderita dengan intususepsi yang mengenai kolon. Mungkin akan didapatkan obstruksi aliran barium pada apex dari intususepsi dan suatu cupshaped appearance pada barium di tempat ini. Ketika tekanan ditingkatkan, sebagian atau keseluruhan intususepsi mungkin akan tereduksi. Jika barium dapat melewati tempat obstruksi, mungkin akan diperoleh suatu coil spring appearance yang merupakan diagnostik untuk intususepsi. Jika salah satu atau semua tanda-tanda ini ditemukan, dan suatu masa dapat diraba pada tempat obstruksi, diagnosis telah dapat ditegakkan (Cohn 1976).

Colon In loop berfungsi sebagai :
Diagnosis : cupping sign, letak invaginasi
Terapi : Reposisi dengan tekanan tinggi, bila belum ada tanda-tanda obstruksi dan kejadian < 24 jam. Reposisi dianggap berhasil bila setelah rectal tube ditarik dari anus barium keluar bersama feses dan udara


Penatalaksanaan
Dasar pengobatan adalah :
  • Koreksi keseimbangan cairan dan elektrolit. 
  • Menghilangkan peregangan usus dan muntah dengan selang nasogastrik. 
  • Antibiotika. 
  • Laparotomi eksplorasi.
Keberhasilan penatalaksanaan invaginasi ditentukan oleh cepatnya pertolongan diberikan, jika pertolongan kurang dari 24 jam dari serangan pertama, maka akan memberikan prognosa yang lebih baik. Perawatan medis darurat diperlukan untuk merawat intususepsi serta menghindari dehidrasi dan shock, serta mencegah infeksi yang dapat terjadi jika terjadi nekrosis pada usus karena kekurangan suplai darah.  Dalam beberapa kasus, mungkin intussusception sementara dapat kembali kearah semula dengan sendirinya tanpa pengobatan. Jika tidak ditemukan kondisi medis yang menyebabkan intussusception, tidak diperlukan perawatan lebih lanjut.
Terapi intususepsi pada orang dewasa adalah pembedahan. Diagnosis pada saat pembedahan tidak sulit dibuat. Pada intususepsi yang mengenai kolon sangat besar kemungkinan penyebabnya adalah suatu keganasan, oleh karena itu ahli bedah dianjurkan untuk segera melakukan reseksi, dengan tidak usah melakukan usaha reduksi. Pada intususepsi dari usus halus harus dilakukan usaha reduksi dengan hati-hati. Jika ditemukan kelainan telah mengalami nekrose, reduksi tidak perlu dikerjakan dan reseksi segera dilakukan (Ellis, 1990). Pada kasus-kasus yang idiopatik, tidak ada yang perlu dilakukan selain reduksi (Aston dan Machleder, 1975 cit Ellis, 1990). Tumor jinak dapat diangkat secara lokal, tapi jika ada keragu-raguan mengenai keganasan, reseksi yang cukup harus dikerjakan.

1. Pre-operatif
Penanganan intususepsi pada dewasa secara umum sama seperti penangan pada kasus obstruksi usus lainnya yaitu perbaikan keadaan umum seperti rehidrasi dan koreksi elektrolit bila sudah terjadi defisit elektrolit.

2. Durante Operatif
Penanganan secara khusus adalah melalui pembedahan laparotomi, karena kausa terbanyak intususepsi pada dewasa adalah suatu keadaan neoplasma maka tindakan yang dianjurkan adalah reseksi anastosmose segmen usus yang terlibat dengan memastikan lead pointnya, baik itu neoplasma yang bersifat jinak maupun yang ganas.

Tindakan manual reduksi tidak dianjurkan karena risiko :
1.     Ruptur dinding usus selama manipulasi
2.     Kemungkinan iskemik sampai nekrosis pasca operasi
3.     Kemungkinan rekurensi kejadian intususepsi
4.     Ileus yang berkepanjangan akibat ganguan motilitas
5.     Pembengkakan segmen usus yang terlibat

Batas reseksi pada umumnya adalah 10 cm dari tepi-tepi segmen usus yang terlibat, pendapat lainnya pada sisi proksimal minimum 30 cm dari lesi, kemudian dilakukan anastosmose end to end atau side to side.
            Pada kasus-kasus tertentu seperti pada penderita AIDS, lesi/lead pointnya tidak ditemukan maka tindakan reduksi dapat dianjurkan, begitu juga pada kasus retrograd intususepsi pasca gastrojejunostomi tindakan reduksi dapat dibenarkan, keadaan lainya seperti intususepsi pada usus halus yang kausanya pasti lesi jinak tindakan reduksi dapat dibenarkan juga, tetapi pada pasien intususepsi tanpa riwayat pembedahan abdomen sebelumnya sebaiknya dilakukan reseksi anastosmose.

3. Pasca Operasi 

  • Hindari Dehidrasi 
  • Pertahankan stabilitas elektrolit 
  • Pengawasan akan inflamasi dan infeksi 
  • Pemberian analgetika yang tidak mempunyai efek menggangu motilitas usus
Pada invaginasi usus besar dimana resiko tumor ganas sebagai penyebabnya besar, maka tidak dilakukan reduksi (milking) tetapi langsung dilakukan reseksi. Sedangkan bila invaginasinya pada usus halus reduksi boleh dicoba dengan hati-hati , tetapi bila terlihat ada tanda necrosis, perforasi, oedema, reduksi tidak boleh dilakukan, maka langsung direseksi saja (Elles , 90). Apabila akan melakukan reseksi usus halus pada invaginasi dewasa hendaknya dipertimbangkan juga sisa usus halus yang ditinggalkan, ini untuk menghindari/memperkecil timbulnya short bowel syndrom.

Apabila usus halus yang tersisa 3 meter atau kurang akan menimbulkan gangguan nutrisi dan gangguan pertumbuhan. Jika usus halus yang tersisa 2 meter atau kurang fungsi dan kehidupan sangat terganggu. Dan jika tinggal 1 meter maka dengan nutrisi prenteralpun tidak akan adequat. (Schrock, 1989). 
Gejala short bowel syndrom menurut (Schrock, 1989) adalah :
  • adanya reseksi usus yang etensif
  • diarhea
  • steatorhe
  • malnutrisi

Kesimpulan
Intussusception pada orang dewasa relatif jarang terjadi, namun, leading point yang spesifik dapat diidentifikasi > 90% kasus. Kebanyakan intussusceptions pada dewasa terkait dengan acute intestinal obstruction atau sebagian terkait pada obstruksi yang berulang. Penegakan diagnosa yang benar dan tepat waktu tidak hanya penting untuk menghindari komplikasi dari infark usus dan perforasi sekunder pada obstruksi tetapi juga untuk mengetahui penyebab yang merupakan leading pointnya. Hal ini penting karena etiologi yang diakibatkan oleh suatu keganasan dapat menjadi penyebab utama tarjadinya intussusception. Begitu pula dengan pengetahuan tentang pemeriksaan penunjang (radiologis) dan gambaran klinis dari intussusception  sangat memegang peranan dalam menegakan diagnosis dan manajemen terhadap pasien ini.