Sabtu, 23 Februari 2013

TRAUMA GINJAL



Oleh : Sudiyatmo, MD
Ditulis saat menjalani stase PPDS Bedah di RSUD Suliki (Februari 2013)
References :
·         Emergencies in Urology, editor Markus Hohenfellner, Richard A.Santucci
·         Urological Emergencies in Clinical Practice, Hashim Hashim et al
·         Campbell-Walsh Urology, 9th ed.

PENDAHULUAN
Trauma ginjal terjadi sekitar 1%-5% dari total seluruh trauma. Trauma ginjal dapat menjadi problem akut yang mengancam nyawa, namun sebagian besar trauma ginjal bersifat ringan dan dapat dirawat secara konservatif. Perkembangan dalam pencitraan dan derajat trauma selama 20 tahun terakhir telah mengurangi angka intervensi bedah pada kasus-kasus trauma ginjal.
MEKANISME TRAUMA
Mekanisme trauma dapat berupa trauma tumpul atau trauma tembus (penetrating injury). Pada daerah pedesaan persentase trauma tumpul mencapai 90%-95%. Sementara di daerah perkotaan, trauma tembus meningkat hingga 18%.
Trauma tumpul biasanya terjadi pada kasus-kasus kecelakaan lalu lintas, terjatuh dari ketinggian, cedera saat olahraga atau berkelahi. Sehingga informmasi yang penting untuk diketahui yang berkenaan dengan riwayat trauma adalah besarnya prose decelerasi yang terjadi. Decelerasi yang sangat cepat dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah, trombosis arteri renalis, peregangan pembuluh darah vena, atau avulsi pedicle ginjal.
Laserasi ginjal yang disertai dengan trauma pada vaskularisasi, hanya terjadi sekitar 10%-15% dari seluruh trauma tumpul ginjal. Luka tembak dan luka tusuk merupakan penyebab utama trauma tembus ginjal. Pada luka tembak, hal terpenting adalah mengetahui jenis senjata dan peluru. Trauma tembus sendiri dapat mengenai organ retroperitoneal bahkan hingga mencapai peritoneum. Sehingga memungkinkan untuk menciptakan kondisi yang tidak steril. Adanya perdarahan dan kebocoran urin pada trauma tembus ginjal akan menciptakan lingkungan yang ideal bagi pertumbuhan bakteri. Sehingga trauma tembus ginjal cenderung lebih berat dan sukar untuk diprediksi dibandingkan trauma tumpul ginjal.

  
KLASIFIKASI TRAUMA GINJAL
Klasifikasi trauma ginjal membantu dalam penyamaan persepsi (standarisasi) akan berbagai jenis pasien, pilihan terapi dan hasil yang diharapkan. Total terdapat 26 klasifikasi trauma ginjal telah dipublikasikan selama 50 tahun terakhir. Namun American Association for the Surgery of Trauma (AAST) telah mengembangkan penklasifikasian trauma ginjal yang diterima luas hingga saar ini. Trauma ginjal diklasifikasikan dari derajat I-V. Sebagian besar penelitian klinis dan penerapan dilapangan telah mengadopsi pengklasifikasian ini.



DIAGNOSIS : INITIAL EMERGENCY ASSESSMENT
Penilaian awal pasien trauma harus meliputi jalan napas, mengontrol pendarahan yang tampak, resusistasi syok jika diperlukan. Pada kasus multiple trauma resusistasi harus segera dilakukan. Pada banyak kasus pemeriksaan fisik dilakukan secara simultan dengan stabilisasi pasien. Dada, perut dan pinggang tidak boleh luput dari pemeriksaan. Ketika trauma pada ginjal dicurigai maka diperluka evaluasi lebih lanjut.
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Indikator yang memungkinkan untuk terjadinya trauma ginjal meliputi mekanisme deselerasi yang cepat seperti pada; jatuh dari ketinggian atau kecelakaan bermotor dengan kecepatan tinggi, serta trauma langsung pada regio flank. Pada kasus trauma tembus, informasi yang diperlukan meliputi jenis benda tajam atau kaliber peluru pada kasus luka tembak.
Riwayat penyakit sebelumnya juga perlu digali, adakah kemungkinan adanya disfungsi organ sebelum terjadinya trauma. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa adanya riwayat penyakit ginjal sebelumnya dapat memperberat trauma minor. Hidronefrosis, batu ginjal, kista maupun tumor telah dilaporkan dapat menimbulkan komplikasi yang lebih berat.
Pemeriksaan fisik merupakan dasar pemeriksaan pada setiap pasien trauma. Stabilitas hemodinamik merupakan kriteria utama dalam penatalaksanaan semua trauma ginjal. Shok dapat diartikan sebagai tekanan sistole yang <90 mmHg pada saat pasien dievaluasi. Vital sign harus dicatat untuk mengevaluasi pasien.
Pada pemeriksaan fisik dinilai adanya trauma tumpul atau tembus pada regio flank, lower thorax dan upper abdomen. Pada luka tembus, panjangnya luka tidak secara kurat mengambarkan dalamnya penetrasi. Penemuan berupa; hematuri, jejas dan nyeri pada pinggang, patah tulang iga bawah, atau distensi abdomen dapat dicurigai adanya trauma pada ginjal.
Pemeriksaan Laboratorium Urinalisa, darah rutin dan kreatinin merupakan pemeriksaan laboratorium yang penting. Urinalisa merupakan pemeriksaan dasar untuk mengetahui adanya cedera pada ginjal. Hematuria mikroskopis pada pasien trauma dapat didefenisikan sebagai adanya >5 sel darah merah per-lapang pandang besar, sementara pada gross hematuria telah dapat dilihat langsung pada urin.
Hematuria merupaka poin disgnostik penting untuk trauma ginjal. Namun tidak cukup sensitif dan spesifik untuk membedakan apakah suatu trauma minor ataukah mayor. Perlu diingat beratnya hematuria tidak berkorelasi lurus dengan beratnya trauma ginjal. Bahkan untuk trauma ginjal yang berat, seperti; robeknya ureteropelvic junction, trauma pedikel ginjal, atau trombosis arteri dapat tampil tanpa disertai dengan hematuria.
Hematokrit serial merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk mengevaluasi pasien trauma. Penurunan hematokrit dan kebutuhan akan transfusi darah merupakan tanda kehilangan darah yang banyak, dan respon terhadap resusistasi akan menjadi pertimbangan dalam pengambillan keputusan. Peningkatan kreatinin dapat sebagai tanda patologis pada ginjal.

Pencitraan : Kriteria Penilaian Radiologis
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan hematuria mikroskopis tanpa disertai shok pasca trauma tumpul ginjal biasanya merupakan tanda tidak beratnya trauma pada ginjal. Oleh karena itu pemeriksaan radiologis perlu dipertimbangkan indikasinya, mengingat rasa tidak nyaman yang timbul pada pasien, reaksi alergi terhadap kontras, paparan radiasi, dan pemeriksaan radiologis yang berlebihan.
Indikasi untuk dilakukannya pemeriksaan radiologis pada trauma ginjal antara lain adalah gross hematuri, hematuri mikroskopik yang disertai shok, atau adanya trauma multi organ. Pada luka tembus, setiap kecurigaan adanya luka yang mengarah pada ginjal maka perlu dilakukan pemeriksaan radiologis tanpa memandang derajat hematuri.

Ultrasonografi Abdomen USG merupakan modalitas pencitraan yang populer untuk penilaian awal suatu trauma abdomen. USG dapat dilakukan dengan cepat, tidak invasif, biaya murah, dan dapat menilai adannya cairan bebas tanpa paparan radiasi atau zat kontras. Namun penggunaan USG pada trauma ginjal cukup banyak dipertanyakan, disamping pemakainaya sangat bergantung pada operator.
USG dapat mendeteksi adanya laserasi pada ginjal, namun tidak mampu secara tepat memastikan seberapa dalam dan luas laserasi yang terjadi, dan tidak mampu menampilkan data yang mendukung untuk menilai ekskresi ginjal dan ada tidaknya kebocoran urin. USG doppler dapat digunakan untuk menilai aliran darah yang menuju ke ginjal. Pada USG dengan kontras, pencitraan dengan baik dapat dilihat pada posisi pasien supine atau dekubitus kontralateral.

Karena penggunaanya yang relatif cepat, USG dapat digunakan pada saat penilaian awal trauma. Pada saat evaluasi, USG lebih sensitif dan spesifik dibandingkan IVP standar untuk kasus trauma minor. Pada penelitian lain yang membandingkan USG dan IVP, sensitifitas USG akan makin berkurang berbanding lurus dengan beratnya derajat trauma, sementara sensitifitas IVP sama tingginya pada semua derajat trauma ginjal.
USG dapat digunakan untuk mengevaluasi resolusi urinoma dan hematom retroperitoneal pada kasus pasien trauma ginjal yang stabil. USG juga dapat digunakan pada pasien yang hamil dan berguna untuk follow-up rutin dalam menilai lesi parenkim atau hematom pada pasien yang dirawat di ruang intensive care unit (ICU). Kesimpulannya, USG berguna pada saat triase pasien dengan trauma tumpul abdomen, dan membantu untuk menentukan modalitas diagnostik yang lebih agresif. USG abdomen tidak memberikan data yang akurat untuk menilai derajat trauma ginjal.
One shot-Intraoperative Intraveous Pyelography Pasien yang tidak stabil merupakan kriteria untuk tindakan operatif (kondisi tidak stabil sehingga tidak dimukinkan dilakukan CT scan), pada pasien tersebut perlu dilakukan one shot-IVP di ruang operasi. Tekniknya dengan melakukan injeksi kontras sebanyak 2 ml/KgBB dan diikuti dengan satu kali pengambilan plain foto tunggal 10 menit setelah injeksi kontras. Pemeriksaan akan memberikan informasi untuk tindakan laparotomi segera, dan data mengenai normal atau tidaknya fungsi ginjal kontralateral.
Walaupun banyak ahli yang menganjurkan penggunaannya, namun tidak semua penelitian menunjukkan manfaat dari one shot-IVP. Pada kasus trauma tembus, Patet et al, menemukan positive predictive value yang hanya 20%, artinya 80% pasien dengan one shot-IVP yang normal, tidak mampu mendeteksi adanya trauma ginjal pada pasien tersebut. Sehingga disimpulkan bahwa one-shot IVP tidak memiliki manfaat yang signifikan untuk menilai pasien dengan trauma tembus ginjal yang akan menjalani operasi laparotomi.

Computed Tomography CT scan merupakan standar baku pemeriksaan radiologi pada pasien trauma ginjal dengan hemodinamik stabil. Pada banyak penelitian CT scan lebih unggul dibandingkan pencitraan lain seperti IVP, USG atau angiografi. CT scan lebih akurat untuk menilai lokasi trauma, mendeteksi kontusio dengan jelas, memberikan gambaran retroperitoneum dan hematom, dan secara simultan memberikan gambaran abdomen dan pelvis. CT scan juga memberikan keunggulan dalam gambaran detail anatomi, yang mencakup; laserasi ginjal, ada tidaknya trauma penyerta, dan gambaran ginjal kontralateral. Luasnya hematom yang tampak pada CT scan dapat dijadikan dasar evaluasi pada kasus trauma tumpul dan penentuan terapi lebih lanjut.
Kontras intravena dapat dilakukan untuk menilai ginjal. Adanya ekstravasasi kontras pada trauma ginjal menandakan suatu trauma pedicle ginjal. Jika tanpa kontras, adanya hematom sentral peri-hilum dapat dicurigai sebagai trauma pedicle. Hal ini harus dipastikan pada kondisi dimana parenkim ginjal tampak normal. Trauma pada vena renalis merupakan hal yang sulit untuk dideteksi dengan modalitas pencitraan apapun, namun kita dapat mencurigainya jika didapati hematom yang luas pada sisi medial ginjal.

Magnetic Resonance Imaging Walaupun MRI tidak banyak digunakan pada sebagian besar kasus trauma ginjal, namun beberapa penelitian telah menunjukkan beberapa manfaat MRI. MRI (1,0 tesla) dapat dengan akurat mangambarkan hematom perirenal, viabilitas fragmen ginjal, dan mendeteksi kelainan ginjal sebelumnya, namun gagal memvisualisasikan ekstravasasi urin pada pemeriksaan awal. Namun demikian MRI bukan pilihan diagnostik pertama pada pasien trauma karena waktu pemeriksaannya yang lama dan biayanya yang mahal.
Angiografi. CT scan telah menggantikan penggunaan angiografi dalam menilai derajat trauma ginjal, hal ini dikarenakan angiografi kurang spesifik, waktu pemeriksaan yang lama, dan lebih invasif. Namun demikian, angiografi lebih spesifik dalam menentukan lokasi pasti dan derajat trauma vaskular. Angiografi dapat menentukan lacerasi ginjal, ekstravasasi, dan trauma pedicle.
Indikasi utama angiografi pada trauma ginjal adalah ginjal yang nonvisual pada pemeriksaan IVP setelah trauma yang berat dan tidak memiliki fasilitas CT scan. Penyebab dari ginjal nonvisual biasanya adalah avulsi total pembuluh darah ginjal, trambosis arteri renalis, kontusio berat yang menyebabkan spasme pembuluh darah. Angiografi juga diindikasikan pada pasien dengan hemodinamik stabil, untuk menilai trauma pedicle yang tidak begitu jelas pada CT scan, atau pada pasien dengan hematuri yang persisten.

PENATALAKSANAAN TRAUMA GINJAL
Satu jam pertama setelah trauma merupakan masa terpenting dan membutuhkan penilaian yang cepat, melakukan resusistasi berdasarkan prioritas yang telah ditetapkan oleh American College of Surgeons Acute Trauma Life Support Program meliputi; A, airway dengan proteksi servikal collar; B, Breathing; C, Circulation dan mengontrol pendarahan; D, disability atau status neurologis; dan E, exposure and environment.
Tujuan utama dari manajemen pasien trauma ginjal adalah meminimalisir morbiditas dan mengamankan fungsi ginjal. Oleh karena itu eksplorasi ginjal harus dipastikan dengan sangat selektif. Derajat trauma ginjal, kondisi pasien secara keseluruhan, dan kebutuhan akan transfusi merupakan faktor prognosis untuk nefrektomi dan hasil akhir secara keseluruhan.
Hemodinamik yang tidak stabil yang disebabkan oleh pendarahan ginjal merupakan indikasi mutlak untuk dilakukannya eksplorasi ginjal, baik pada trauma tumpul maupun trauma tembus. Indikasi lain untuk dilakukannya eksplorasi adalah hematom perirenal yang pulsatile dan ekspanding (berdenyut dan meluas). Pada situasi ini one shot-IVP dapat memberikan informasi yang bermanfaat. Visualisasi yang tidak baik pada ginjal yang mengalami trauma termasuk indikasi eksplorasi. Pasien trauma ginjal grade 5 juga merupakan indikasi mutlak untuk dilakukannya eksplorasi.





MANAJEMEN- EKSPLORASI
Secara keseluruhan eksplorasi dilakukan pada <10% kasus trauma ginjal dan akan makin berkurang pada masa yang akan datang karena semakin banyaknya pihak yang menganut pendekatan konservatif pada kasus trauma ginjal. Tujuan utama eksplorasi adalah untuk mengontrol pendarahan dan menyelamatkan ginjal. Mayoritas ahli menganjurkan pendekatan transperitoneal (laporatomi). Akses pada pedikel ginjal lebih baik dilakukan dengan pendekatan peritoneum parietal poterior, dengan insisi di atas aorta, medial dari vasa mesenterica inferior.
Secara keseluruhan 13% pasien mengalami nefrektomi pada saat eksplorasi, umumnya nefrektomi dilakukan pada pasien dengan riwayat shok dan score trauma yang berat. Pada kasus luka tembak, rekonstruksi mungkin sulit dilakukan sehingga dibutuhkan nefrektomi.
Renorafi merupakan teknik rekonstruksi yang umum dilakukan. Nefrektomi parsial dapat dipertimbangkan jika ditemui jaringan yang non-viable. Penutupan defek kolekting sistem dilakukan dengan penjahitan yang kedap-air, beberapa ahli menganjurkan menutup defek kolekting sistem dengan parenkim ginjal untuk hasil yang lebih baik. Jika kapsul ginjal tidak dapat dipreservasi maka dapat dilakukan omental pedicle flap sebagai penutup defek. Pada semua kasus, direkomendasikan penggunaan drainase retroperitoneal untuk mengalirkan kebocoran urin.
Semua trauma tembus harus dieksplorasi melalui pendekatan transabdominal, agar dapat mengeksplorasi ginjal kontralateral dan mengontrol trauma abdomen lainnya. Ginjal dieksplorasi dengan membuka fascia gerota dan dinilai ada tidaknya pendarahan aktif, hamtom perirenal yang meluas, atau kebocoran urin. Lakukan penilaian pada hillum dan ureter bagian proksimal. Trauma tusuk dengan derajat 3 akan mangalami perjalanan penyakit yang sulit untuk diprediksi dan dapat mengalami komplikasi lambat dan operasi yang tertunda. Banyaknya jaringan ginjal yang nonviable merupakan indikasi relatif untuk dilakukan eksplorasi.
Trauma pada organ vaskular ginjal jarang terjadi, biasanya kasus ini berhubungan dengan trauma penyerta yang luas dan meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas. Pada kasus trauma ginjal bilateral dipertimbangkan untuk melakukan repair, pada kasus soliter dapat dilakukan nefrektomi. Arteriografi dengan embolisasi untuk mengontrol pendarahan merupakan alternatif untuk laparotomi. Banyak yang melaporkan angka keberhasilan tindakan ini baik pada kasus trauma tumpul atau trauma tembus.








MANAJEMEN NON-OPERATIF/KONSERVATIF
Manajemen non-operatif semakin banyak dipertimbangkan untuk pasien-pasien trauma ginjal. Semua kasus trauma ginjal grade 1 dan 2 dapat dirawat secara konservatif baik pada trauma tumpul atau trauma tembus. Terapi pada trauma ginjal grade 3 telah menjadi kontroversi selama bertahun-tahun. Mayoritas pasien dengan trauma ginjal grade 4 dan 5 datang dengan trauma penyerta dan akhirnya menjalani eksplorasi dan tingginya angka nefrektomi.
Pasien trauma ginjal grade 4 dan 5 dapat dirawat konservatif dengan syarat kondisi hemodinamik stabil. Ekstravasasi urin bukan indikasi mutlak untuk dilakukan eksplorasi, dan umumnya dapat sembuh dengan sendirinya. Jika derajat ekstravasasi makin berat dalam 48 jam dapat dipertimbangkan insersi JJ stent.
Pasien dengan hemodinamik stabil harus dilakukan penilaian derajat trauma dengan lengkap untuk memastikan luasnya trauma. Kasus luka tembak dengan kecepatan peluru yang rendah atau luka tusuk kecil dapat dirawat dengan hasil yang dapat diterima. Pendekatan klinis yang sistematis berdasarkan pada temuan klinis, laboratorium, dan penunjang radiologi dapat meminimalisir angka negatif eksplorasi. 




PERAWATAN POST-OPERASI DAN FOLLOW-UP
Pasien yang berhasil dirawat secara konservatif memiliki beberapa resiko komplikasi. Pencitraan dapat diulang 2-4 hari setelah trauma untuk meminimalisir resiko komplikasi yang tidak terdeteksi sejak awal terutama pada trauma grade 3-5. CT scan dapat dipertimbangkan pada kondisi pasien dengan demam, hematuri yang terus-menerus, dan nyeri pinggang yang berat.
Follow-up harus mencakup pemeriksaan fisik, urinalisa, evaluasi radiologi, tekanan darah, fungsi ginjal. Sedikit sekali literatur yang menilai efek trauma ginjal jangka panjang. Pada pemeriksaan histopatologi, pada kasus-kasus pasien dengan perawatan konservatif atau trauma minor ginjal akan menjadi distrofi.

KOMPLIKASI
Komplikasi awal yang dapat terjadi pada satu bulan pertama berupa; perdarahan, fistula arteri-vena renalis, hipertensi, ekstravasasi urin, dan urinoma. Komlikasi lambat yang terjadi hidronefrosis, pembentukan batu, pyelonefritis akut, hipertensi, fistula arteri-vena, dan pseudoaneurisma.
Menurut literatur kejadian hipertensi post-trauma sebesar <5%. Hipertensi dapat terjadi segera sebagai akibat kompresi eksternal oleh hematom perirenal, atau muncul kemudian akibat kompresi dari terbentuknya scar. Hipertensi yang dimediasi oleh renin dapat terjadi sebagai komplikasi jangka panjang, hal ini diakibatkan trombosis arteri renalis, trombosis arteri segmental, stenosis arteri renalis, dan fistula arterivena. Arteriografi akan memberikan informasi yang bermanfaat pada kasus hipertensi post-trauma. Penatalaksanaan hipertensi berupa terapi medical, eksisi parenkim yang iskemik, rekonstruksi vaskular, atau bahkan total nefrektomi.
Arterivena fistula biasanya muncul kemudian dengan gejala hematuri, hipertensi, gagal jantung, dan gagal ginjal yang progresif dan banyak terjadi pada kasus trauma tembus ginjal. Embolisasi perkutaneus atau stenting arteri renalis mungkin efektif untuk menangani masalah ini, walaupun kebanyakan kasus dilakukan operasi terbuka. Pseudoaneurisma merupakan komplikasi yang jarang. Beberapa penulis melaporkan keberhasilan embolisasi transkateter untuk menangani pseudoaneurisma.

Selasa, 19 Februari 2013

INTESTINAL STOMA


Ditulis oleh : Sudiyatmo, MD
Ditulis saat menjalani stase PPDS Bedah di RSUD Suliki (Februari 2013)
Reference :
  • Principle and Practice of Surgery for the Colon, Rectum and Anus, 3rd  edition.
  • Maingot’s Abdominal Operations
  • Zollinger’s Atlas of Surgical Operations, 8 th edition
  • The ASCRS Textbook of Colon and Rectal Surgery.


OVERVIEW
            Rata-rata 100.000 pasien menjalani operasi pembuatan stoma tiap tahunnya di Amerika Serikat. Sebagian besar pasien-pasien tersebut akan mengalami komplikasi akibat prosedur pembedahan maupun akibat adanya stoma, problem tersebut meliputi berbagai komplikasi pada kulit, masalah bau yang tidak sedap, kecemasan, depresi, disfungsi seksual, dan isolasi sosial. Keputusan mengenai diperlukan atau tidaknya pembuatan stoma sangat dibutuhkan. Begitu pula dengan teknik operasi dan kemampuan perawat stoma merupakan hal yang juga penting untuk penatalaksanaan pasien yang lebih baik.
ILEOSTOMI
Sejarah. Baum, pada tahun 1879, merupakan ahli bedah pertama yang melakukan ileostomi pada pasien ileus obstruksi akibat kanker kolon ascenden. Pasien tersebut survive, namun akhirnya meninggal setelah operasi ke-2, untuk reseksi kanker kolon ascenden dan anastomose ileocolica. Kraussold, Billroth, Bergman, dan Maydl, merupakan ahli bedah yang mulai sering melakukan ileostomi sejak abad ke-19 dengan  hasil yang baik.
Sejak saat itu teknik pembuatan ileostomi terus mengalami perkembangan. Pencapaian terbaik dilakukan oleh Dr.Alfred Strauss dari Chicago, pada tahun 1920, yang melakukan ileostomi dan kolektomi pada pasien kolitis ulseratif pada seorang ahli kimia yang bernama Koenig. Koenig kemudian membuat ileostomi bag, yang secara komersial kemudian dikenal dengan Koenig-Rutzen bag. Ileostomi bag ini kemudian digunakan secara luas hingga tahun 1950.
Seiring dengan perkembangan teknik ileostomi, maka para ahli juga mulai mempelajari komplikasi-komplikasi yang muncul pasca ileostomi. Crile dan Turnbull mengemukakan masalah cairan ileostomi sebagai penyebab terjadinya serositis pada permukaan serosa yang terekspos. Kemudian mereka menganjurkan untuk melapisi serosa dengan lapisan mukosa yang dieversikan akan meminimalisir disfungsi ileostomi. Akhirnya Brooke, pertama kali memperkenalkan teknik full-thickness eversi pada mukosa, yang kemudian diterima secara universal. Prosedur ini juga disebut dengan maturasi ileostomi.
Dua even yang menandai suksesnya operasi pembuatan stoma dan rehabilitasi pasien dengan stoma adalah dengan dibentuknya klub ileostomi pertama di rumah sakit Maount Sinai New York pada tahun 1951 dan diadakannya program pendidikan untuk perawat stoma oleh Rupert  Turnbull pada tahun 1961. Sampai 1997 terdapat 2300 perawat telah mendapat sertifikasi untuk merawat stoma.
Peningkatan kualitas hidup pasien dengan stoma mencakup perkembangan alat-alat stoma. Teknik operasi dikembangkan untuk tetap menjaga viabilitas stoma. Kebutuhan akan perawat stoma juga sangat memegang peranan penting dalam meningkatkan kualitas hidup pasien dengan stoma.

FISIOLOGI ILEOSTOMI
Segera setelah menjalani operasi dengan prosedur ileostomi, maka seorang pasien akan mengalami tiga fase adaptasi. Tiga hari pertama cairan yang keluar akan makin menigkat jumlahnya dan berada pada puncaknya pada hari ke-3 dan ke-4. Fase kedua, tiga hari berikutnya, jumlah cairan mulai stabil, mengental dan berkurang produksinya. Fase ke-3, adaptasi terjadi pada minggu pertama sampai minggu ke-8 dengan berkurangnya jumlah dan mengentalnya cairan stoma. Setelah tiga proses adaptasi tersebut selesai, maka jumlah cairan ileostomi, pada kasus tanpa reseksi usus halus, berjumlah 200-700cc perhari. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa periode kritis untuk terjadinya dehidrasi akut berada pada hari ke-3 sampai hari ke-8. Oleh karena itu, pada periode tersebut tersebut pergantian cairan dan elektrolit harus benar-benar diperhatikan. Sehingga pasien sebaiknya tidak segera dipulangkan sampai hari ke-9 atau ke-10.
Usus halus akan melakukan adaptasi  dengan melakukan reabsorpsi cairan dan elektrolit. Pada orang normal sekitar 1500-2000 cc per hari cairan masuk ke usus besar. Pada pasien dengan ileostomi 70%-80% cairan ini akan direasorpsi.  Perubahan diet tidak akan berpengaruh banyak terhadap produksi ileostomi. Puasa akan mengurangi produksi ileostomi 50-100 cc perhari. Volume urin akan relatif berkurang sebanyak 40%-50%.
Pasien dengan ileostomi baik tanpa reseksi atau disertai dengan reseksi ileum <100 cm biasanya dapat mempertahankan kebutuhan nutrisi secara normal dan pasien dapat mempertahankan berat badannya. Reseksi yang >100 cm pada ileum terminal akan menyebabkan gangguan penyerapan vitamin B12, sehingga dibutuhkan suplemen viamin B untuk mencegah anemia megaloblastik.

PERUBAHAN METABOLIK PASIEN ILEOSTOMI
Individu normal akan kehilangan 2-10 mEq natrium setiap harinya melalui feses, pasien ileostomi rata-rata akan kehilangan 60 mEq natrium perhari. Perubahan tersebut jarang menimbulkan kompensasi pada ginjal. Pasien ileostomi akan mengalami peningkatan sekresi mineralkortikoid secara kronis untuk meningkatkan reabsorpsi air dan natrium. Jika pasien dapat beradaptasi dengan baik maka jarang terjadi dehidrasi.
Pada pasien dengan ileostomi komposisi bakteri juga mengalami perubahan. Gorbach et al, menyebutkan jumlah total bakteri akan meningkat rata-rata 80 kali dibandingkan ileum normal. Peningkatan jumlah bakteri ini meliputi bakteri aerob dan non-aerob.
Faktor yang paling penting yang dapat mempengaruhi jumlah cairan ileostomi adalah panjang usus yang tidak mengalami cidera pada bagian proksimal ileostomi. Peningkatan indeks masa tubuh akan meningkatkan jumlah cairan. Intake cairan tidak banyak berpengaruh. Peningkatan diet yang disertai dengan lemak berlebih juga akan meningkatkan produksi cairan. Peningkatan konsumsi serat yang >16 gram/hari akan meningkatkan jumlah cairan sebanyak 20%-25%. Overproduksi cairan asam lambung akan berkontribusi pada jumlah cairan ileostomi. Dimana cairan ileostomi akan berkurang dengan mengkonsumsi obat anti sekresi asam lambung seperti omeprazole. Transit makanan pada saluran pencernaan akan lebih lambat pada  pasien dengan end ileostomi. Adaptasi akan terjadi diatas periode satu tahun, dengan mekanisme yang tidak diketahui.
Terdapat hubungan bermakna pasien ileostomi dengan kejadian batu empedu pada pasien tersebut. Pada pasien yang dapat beradaptasi dengan baik hal ini tidak terjadi. Namun pada pasien yang mengalami reseksi ileum, sirkulasi entero-hepatiknya akan terganggu. Pada wanita dengan ileostomi, terjadinya batu empedu akan meningkat tiga kali lipat. Pasien juga dapat mengalami resiko yang lebih besar untuk terjadinya batu saluran kemih. Hal ini dkarenakan dehidrasi kronis dan meningkatnya tingkat keasaman pada urin.
Diare dapat terjadi pada pasien dengan ileostomi. Hal dapat terjadi akibat resksi ileum yang panjang, pertumbuhan bakteri yang berlebihan, terjadinya enteritis, dan infeksi. Pada sebagian besar kasus, penatalaksanaanya akan sama dengan terapi pada individu normal. Perhatian lebih kepada rehidrasi cairan dan elektrolit karena pasien berisiko untuk dehidrasi dan kelainan metabolik.
Hal yang juga sering kali dilupakan oleh ahli bedah adalah faktor-faktor yang mempengaruhi penempatan/lokasi stoma. Faktor-faktor ini antara lain; pekerjaan, gaya berpakaian, tingkat aktivitas harian, kontur dinding perut saat duduk dan berdiri, dan keterbatasan fisik. Faktor-faktor lain juga mencakup, insisi abdomen sebelumnya dan penonjolan tulang. Di luar negeri, pada kasus-kasus pasien elektif, tugas ini dilakukan oleh perawat stoma sambil mengkomunikasikannya dengan pasien dan dokter bedah.  Suatu keharusan bagi seorang ahli bedah untuk mempelajari skill ini, terutama jika tidak memiliki perawat stoma.
Secara umum standar ostomi berada pada samping kanan atau kiri garis midline, dan diatas atau rektus abdominis. Pada posisi supine, dapat ditandai dengan jarak 5 cm dari insisi abdomen sebelumnya, dari penonjolan tulang, pusar, dan garis ikat pinggang pasien. Atau pada bagian lateral dan inferior dari umbilicus. Harus dipastikan bahwa pada posisi berdiri dan duduk, lipatan kulit tidak akan mengganggu penempelan dari ostomi bag. Pada pasien gemuk, stoma tidak boleh tersembunyi dibawah lipatan lemak yang tebal. Pada kasus-kasus seperti ini dapat dipikirkan lokasi stoma pad regio supraumbilical.

INDIKASI STOMA
Terdapat beberapa indikasi untuk dilakukannya pembuatan stoma. Secara umum ostomi dilakukan pada kasus dimana tidak dimunkinkannya untuk melakukan anasomose usus secara langsung dengan berbagai alasan, atau ditakutkan adanya resiko kegagalan pada sambungan usus. Atau pada kasus dimana tidak terdapat usus pada bagian distal seperti pada pasien pasca reseksi abdominoperineal. Ostomi dapat sementara/temporary atau permanen.


TIPE ILEOSTOMI – END ILEOSTOMI
End ileostomi diindikasikan pada kasus-kasus dengan prosedur proktokolektomi total, pada kasus-kasus inflammatory bowel diseases, poliposis familial atau penyakit kolon lainnya yang membutuhkan reseksi. End ileostomi hampir dipastikas sebagai prosedur stoma permanen pada kasus-kasus kolon diatas.
Setelah melakukan identifikasi pembuluh darah dan mesenterium, ileum direseksi dengan menggunakan stapler atau klem usus. Insisi sirkumferensial sepanjang 2,5 cm – 3cm dibuat pada kulit pada regio kanan bawah. Hal yang perlu diperhatikan adalah tidak melakukan eksisi/pembuangan lemak subkutis yang berlebihan, karena lemak tersebut akan berguna untuk ileostomi. Keating et al, menganjurkan insisi tranverse pada lipatan kulit.  Tidak dilakukan eksisi kulit dan lemak subkutis, sehingga akan mengurangi tegangan saat penjahitan.
Setelah melakukan insisi pada fascia, otot rektus dipisahkan dengan menggunakan klem. Setelah itu peritoneum dibuka sepanjang 3-4 cm, atau dengan ukuran diperkirakan sama dengan lebar masuknya jari telunjuk dan jari tengah ketika. Kemudian 5-6 cm ileum dikeluarkan dari lubang insisi, dan dilakukan fiksasi dengan menjahit ileum dengan peritoneum dan fascia posterior otot rektus dengan menggunakan benang yang dapat diserap.
Maturasi/eversi pada ileum dapat langsung dilakukan atau setelah dilakukan penutupan abdomen. Keuntungan maturasi setelah penutupan abdomen ialah mencegah masuknya isi ileostomi kedalam intra-abdominal atau pada luka. Sementara keuntungan maturasi langsung sebelum penutupan abdomen adalah memberikan kesempatan pada ahli bedah untuk memastikan viabilitas dari ileostomi. Maturasi dilakukan dengan cara melakukan penjahitan pada tiga titik yaitu; puncak/ujung ileum, lapisan seromuskular ileum, dan kulit. Jahitan tiga titik dapat dibuat pada tiga tempat terpisah dan simetris. Terdapat literatur yang menyebutkan bahwa penjahitan dilakukan pada subkutis, bukan pada bagian kulit. Hal ini dilakukan untuk mencegah penempelan sel-sel mukosa pada kulit, yang berakibat pada iritasi peristoma. Penjahitan terputus dengan menggunakan benang yang dapat diserap. Pada beberapa bagian defek (diantara jahitan tiga titik tersebut) dapat ditambahkan jahitan pada dua titik, yaitu kulit dan puncak ileum. Ileostomi harus menonjol minimal 2 cm diatas dinding abdomen.
Ileostomi dengan maturasi oleh Brooke telah diterima secara luas di seluruh dunia. Teknik ini dapat mencegah terjadinya retraksi stoma, serositis, dan obstruksi pada lobang ileostomi. Pada beberapa pasien, ileum yang direseksi boleh jadi mengalami oedem, pada kedaan ini maturasi dengan teknik Brooke tidak mungkin dilakukan. Pada situasi ini teknik Turnbull dapat diterapkan. Dengan melakukan reseksi pada lapisan serosa dan muscularis, dan eversi lapisan mukosa. Terdapat literatur yang menyebutkan bahwa ileum yang mengalami oedem dapat pula ditunda maturasinya hingga 2-7 hari, menunggu sampai berkurangnya oedem (secondarily matured).




TIPE ILEOSTOMI – LOOP ILEOSTOMI
Loop ileostomi umumnya digunakan untuk melindungi anastomose ileo-anal atau kolon yang beresiko untuk mengalami kebocoran. Atau juga pada kasus multiple anastomose pada kolon bagian distal, seperti pada kasus Crohn’s diseases. Walaupun loop kolostomi kolon transversum dapat dilakukan untuk melindungi anastomose tersebut, namun penggunaan ileostomi lebih dianjurkan. Jika dibandingkan dengan kolostomi, ileostomi lebih tidak berbau, dan memiliki efek samping yang lebih minimal dibandingkan dengan kolostomi kolon transversum. Disamping itu pada saat penutupan stoma, resiko sepsis pada ileostomi lebih minimal.
Loop ileostomi juga lebih mudah dibuat, penempatan stoma yang lebih baik, dan secara keseluruhan lebih ditolerir oleh pasien. Sementara loop kolostomi tranversum dengan lumen yang lebih besar, akan lebih sulit untuk melakukan eversi, bahkan lebih mudah untuk terjadi prolapse atau retraksi, penempatannya pada epigastrium juga sangat tidak nyaman untuk pasien.


Loop ileostomi biasanya dikerjakan pada saat laparotomi dan reseksi usus, sehingga eksposure lapang operasi diperoleh melalui insisi midline. Lokasi loop ileostomi sama seperti end ileostomi yaitu di kuadran kanan bawah. Panjang insisi kulit dapat lebih panjang. Loop ileostomi dikeluarkan dan dijaga jangan sampai terjadi pemuntiran pembuluh darah dan mesenterium. Loop ileostomi dimaturasi dengan melakukan insisi tranverse pada bagian distal usus (bukan ditengah-tengah). Setelah dilakukan insisi pada loop (insisi lebih ke bagian distal usus), akan terbentuk stoma fungsional atau stoma bagian proksimal yang berukuran lebih besar daripada stoma bagian distal. Eversi stoma bagian proksimal dilakukan dengan membuat jahitan pada tiga titik; ujung stoma dan seromuskular ileum dengan kulit. Pada beberapa bagian defek dapat ditambahkan jahitan pada dua titik; kulit dan puncak ileum.


Prasad et al, memodifikasi loop ileostomi dengan memotong ileum dan sebagian mesenterium dengan menggunakan stapler. Bagian proksimal ileum kemudian difiksasi dan dimaturasi seperti ileostomi Brooke. Bagian antemesenterium dari ileum distal difikasi dan dimaturasi pada kulit, sehingga terbentuk ileostomi distal yang lebih kecil. Modifikasi ini dapat berguna pada pasien dengan dinding abdomen yang tebal dan mesenterium yang pendek.


MUCOUS FISTULA
Terminologi mucous fistula mengacu pada bagian distal usus yang direseksi, dimana bagian tersebut kemudian dikeluarkan di atas kulit dan dimaturasi seperti layaknya stoma. Umumnya pada kasus-kasus reseksi usus, bagian proksimal usus dibuat sebagai bagian stoma fungsional tempat keluarnya feses. Sementara bagian distal dapat ditutup pada prosedur Hartmann atau ikut dikeluarkan seperti stoma. Pengeluaran bagian distal ini dikenal dengan istilah mucous fistula, karena bagian tersebut akan mengeluarkan mukus.
Manfaat dari mucous fistula ini adalah untuk mendekompresi usus bagian distal. Terutama penting pada kasus dimana masih terdapat obstruksi pada bagian distal usus, atau pada kanker kolon distal yang belum dapat diangkat. Jika usus bagian distal ini tidak dibuat seperti stoma, atau ditutup dengan penjahitan, maka akan menyebabkan terjadinya obstruksi closed loop, dimana usus bagian distal tersebut akan terisi oleh mukus, sekresi, dan bakteri, yang lama-kelamaan dapat menyebabkan ruptur dan peritonitis. Mucous fistula juga dapat digunakan untuk menilai usus bagian distal, melakukan irigasi, atau terapi.

PENUTUPAN LOOP ILEOSTOMI
Sebelum melakukan penutupan ileostomi, penting sekali untuk memastikan bahwa tidak terdapat obstruksi pada usus bagian distal. Penutupan ileostomi umumnya dapat dilakukan dengan melakukan insisi parastoma, tanpa harus melakukan laparotomi. Pada beberapa pasien, terutama pada pasien gemuk, atau pasien yang disertai dengan adhesi usus yang hebat, mungkin diperlukan ekspose dari insisi abdomen sebelumnya.
Insisi elips dengan jarak 1-2 mm dari stoma dapat dibuat, insisi dapat diperluas hingga 1 cm. Insisi diperdalam hingga mencapai fascia dan peritoneum. Bebaskan segmen proksimal dan distal usus dari perlengketan dengan peritoneum, hingga kedua segmen usus dapat dimobilisasi. Setelah itu penutupan ileostomi dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu;
  1. Anterior ileal wall closure
  2. Stomal resection with end-to-end anastomosis
  3. Functional end-to-end stapled anastomosis

KOLOSTOMI
Sejarah. Pada tahun 1776 Pillore, seorang dokter bedah dari Perancis, melakukan sekostomi perkutaneus, pada seorang pengusaha wine (minuman dari anggur) yang mengidap kanker rektum yang disertai dengan obstruksi usus. Walaupun pasien tersebut maninggal dunia dua minggu kemudian, sekostomi ini tercatat sebagai stoma pada kolon pertama kali yang dianggap berhasil. Sejak saat itu, mulai banyak dilaporkan prosedur kolostomi pada pasien dewasa yang mengalami obstruksi usus atau pada bayi yang mengalami anus imperforata.
Pada tahun 1884, Maydl memperkenalkan teknik kolostomi dengan menggunakan penyangga pada dinding abdomen. Pada 1921, Henri Albert Hartmann, seorang ahli bedah Perancis mengenalkan reseksi kolon rektosigmoid, dengan penutupan potongan distal/rectal stump, dan dengan end colostomi. Teknik yang dikenal dengan Hartmann’s procedure ini telah secara luas diterapkan hingga saat ini. Sementara itu Miles, pada tahun 1908 tercatat melakukan operasi dengan end sigmoid colostomy dan reseksi abdominoperineal.
Lebih lanjut berbagai teknik kolostomi dengan berbagai modifikasinya telah digunakan secara luas pada banyak pasien. Sementara itu, selama dua dekade terakhir, pembuatan end kolostomi telah berkurang dengan penggunaan stapler, sehingga memungkinkan untuk melakukan low anterior anastomosis.

TIPE KOLOSTOMI-SEKOSTOMI
Telah berabad-abad sekostomi telah dilakukan sebagai prosedur dekompresi untuk kasus-kasus obstruksi pada kolon. Sekostomi juga dianjurkan pada kasus perforasi, impending perforasi sekum, volvulus sekum, atau dilatasi kolon pada penyakit inflamasi kolon.
Sekostomi dapat dikerjakan melalui insisi tranverse pada kuadaran kanan bawah. Ketika peritoneum dibuka, akan tampak sekum yang mengalami distensi. Lakukan penjahitan purse-string sebanyak dua lapis dengan benang silk 3-0, kemudian insersikan kateter foley No.30, dan ditempatkan di puncak sekum. Dua jahitan purse-string tadi diperkuat untuk memfiksasi kateter. Kateter sekostomi ini dapat dilepas setelah 7-10 hari, dan fistula cecocutaneus diharapkan akan menutup spontan.
Komplikasi yang dapat terjadi setelah pemasangan sekostomi tube ini adalah; kebocoran perikateter, infeksi kulit lokal, ekskoriasi kulit, nyeri, dan colocutaneus fistula.
Beberapa penelitian mulai mempertanyakan penggunaan sekostomi. Karena pada hampir 50% kasus, sekostomi tidak memiliki kemampuan untuk mendekompresi kolon yang obstruksi. Beberapa literatur menyimpulkan bahwa sekostomi dapat dikerjakan pada kasus dengan indikasi yang dapat diterima seperti; volvulus, perforasi sekum dan pseudo-obstruksi.

LOOP COLOSTOMY
Pada masa lalu loop transverse colostomy umum dikerjakan sebagai diversi feses sementara, seperti pada kasus-kasus; obstruksi, inflamasi, trauma, low colorectal anastomosis, atau luka pada perineum. Namun saat ini loop kolostomi telah jarang digunakan dan digantikan oleh loop ileostomi atau loop sigmoid kolostomi. Loop kolostomi kolon sigmoid lebih familiar bagi para ahli bedah, hal ini dikarenakan teknik pembuatan yang lebih simple.
Pada awalnya terdapat tiga teknik dalam membuat fiksasi loop colostomi :
  1. Loop colostomy over fascila bridge
  2. Loop colostomy over rod (teknik ini yang banyak digunakan hingga saat ini)
  3. End-loop colostomy


Teknik Pembuatan Loop Kolostomi
Kolon sigmoid atau kolon descenden dimobilisasi sepanjang white line of Todlt seperti pada standar reseksi kolon descenden, dan segmen kolon yang sesuai dipilih sebagai stoma. Kolon harus dimobilisasi sedemikian rupa, sehingga dapat dengan mudah mencapai dinding abdomen. Hal ini sangat penting untuk menghindari tension pada saat pembuatan stoma, serta tertariknya stoma akibat mobilisasi yang tidak adekuat.
Peritoneum yang melekat pada dinding kolon, baik pada bagian medial atau lateral, dipisahkan dengan menggunakan elektrocouter. Lakukan palpasi dengan jari telunjuk dan ibu jari pada bagian mesenterium untuk menuntun klem pada saat memasukkan drain Penrose atau foley kateter sebagai penyangga. Insisi pada kulit dilakukan pada kuadaran kiri bawah, diatas otot rektus abdominis. Insisi diperdalam dengan memotong fascia anterior otot rektus, lakukan pemisahan otot rektus, dan loop kolon dikeluarkan melalui insisi tersebut.
Pada saat mengeluarkan loop kolostomi pada dinding abdomen hindari terjadinya pemuntiran. Usus bagian distal berada pada bagian inferior atau medial dari stoma, sementara bagian proksimal berada pada bagian superior atau lateral. Kemudian lakukan eversi dengan insisi pada loop, lebih ke bagian kolon distal. Sehingga bagian distal hanya menyisakan sedikit bagian saja untuk eversi.
Lakukan fiksasi pada tiga titik; lapisan seromuskular dan ujung kolon dengan lapisan dermis. Jahitan ini dapat dibuat pada tiga atau empat tempat yang simetris. Kemudian untuk menyempurnakan eversi dapat ditambahkan jahitan pada dermis dan ujung kolon diantara jahitan tiga titik tadi.