Minggu, 05 Oktober 2014

Puasa Sebelum Tindakan Operasi (Are there any that should be improved?)

Puasa preoperatif pertama kali diberlakukan dua tahun setelah diperkenalkannya anastesi umum pada tahun 1848. Prosedur puasa preoperatif  menjadi populer setelah adanya laporan kematian seorang wanita muda di Edenburg yang meninggal akibat aspirasi. Wanita tersebut mendapat anastesi umum dengan menggunakan kloroform tidak lama setelah menkonsumsi makanan. Sejak saat itu para ahli meyakini bahwa lambung yang terisi saat anastesi umum akan meningkatkan resiko terjadinya muntah dan aspirasi. Dogma ini berlanjut serta didukung oleh penelitian pada tahun 1940-an, dan terus menjadi rutinitas hingga hari ini.1
Puasa sebelum operasi elektif merupakan suatu prosedur rutin yang bertujuan untuk mencegah terjadinya muntah, mengurangi volume dan keasaman cairan lambung sehingga dapat mencegah resiko terjadinya aspirasi yang dikenal dengan Mendelson syndrome.2 Namun disisi lain puasa preoperatif secara tradisional telah menimbulkan stres metabolik, menekan fungsi mitokondria dan meningkatkan resistensi insulin.3,4 Puasa 8-12 jam sebelum operasi akan menyebabkan perubahan tubuh dari kondisi anabolik menjadi katabolik yang berdampak pada pemakaian cadangan glikogen.5
            Puasa preoperatif dapat memanjang akibat operasi yang tertunda atau dengan berbagai sebab lain. Kondisi puasa yang lama dapat menyebabkan beberapa efek samping yang sangat berpengaruh terhadap kondisi pisik dan psikologis pasien. Puasa yang lama akan menyebabkan timbulnya rasa tidak nyaman berupa peningkatan kecemasan, nyeri kepala, dehidrasi, rasa mual, rasa haus dan lapar, keletihan, dan keadaan hipovolemia. Terjadinya mual dan muntah juga akan meningkat pada pasien yang menjalani puasa yang lama. Sementara kondisi fisik dan psikologis pasien menjelang operasi akan mempengaruhi outcome pasca pembedahan.1
Pada 38 penelitian randomized clinical trial (RCT) ditemukan bahwa puasa yang lebih lama tidak secara signifikan menurunkan resiko terjadinya aspirasi, disisi lain terjadi peningkatan komplikasi preoperatif berupa rasa haus, lapar, nyeri dan kecemasan. Tidak terdapat perbedaan signifikan pada volume cairan lambung antara pasien yang puasa lama dengan kontrol, artinya resiko terjadinya respirasi sama besar.  Penelitian terbaru juga menyebutkan bahwa konsumsi minuman cair 2-4 jam sebelum operasi tidak berpengaruh terhadap volume dan tingkat keasaman lambung.6
            Penelitian pada anak-anak yang menjalani puasa preoperatif juga menyimpulkan bahwa konsumsi minuman cair masih aman diberikan sampai 2 jam sebelum operasi. Tingkat kecemasan berbanding lurus dengan lama puasa dan operasi. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan pada 2543  anak dengan berbagai jenis operasi, dan masih mengkonsumsi air putih 2-3 jam sebelum operasi, hanya ditemukan 1 kasus aspirasi. Begitu pula dengan lebih minimalnya tingkat rasa haus, rasa lapar dan tingkat kenyamanan lainnya dibandingkan dengan anak-anak dengan puasa yang lebih lama.7
            American Society of Anaesthesiologist (ASA) merekomendasikan puasa selama dua jam untuk cairan dan enam jam untuk makanan padat pada sebagian besar pasien operasi elektif. Mengkonsumsi minuman cair seperti air putih, kopi, teh, atau jus tanpa ampas masih diperbolehkan hingga dua jam sebelum operasi. Pada penelitian systematic review, menyebutkan bahwa pada pasien yang mengkonsumsi minuman cair dua jam sebelum operasi, tidak ditemukan resiko muntah, aspirasi atau morbiditas lain selama operasi.

Panduan lama puasa pre-operatif dari American Society of Anaesthesiologist (ASA) dan European Society of Anaesthesiology (ESA)8,9
Makanan Yang Dikonsumsi
Lama Puasa (dalam jam)
Minuman (tanpa ampas)
2
Air susu ibu
4
Susu bayi
6
Susu sapi
6
Makanan padat
6

            Beberapa studi telah membuktikan bahwa rasa tidak nyaman pasien mempengaruhi proses penyembuhan pasien. Glaser melalui studi psikoneuroimunologi, menyebutkan terdapat bukti bahwa kondisi stres pasien perioperatif akan memperlambat proses penyembuhan luka. Kondisi psikologis yang mempengaruhi penyembuhan pasca operasi dapat terjadi melalui beberapa jalur: (a) Emosi pasien berkaitan dengan langsung pada hormon stres, akibatnya akan memodulasi fungsi sistem imun. (b) Kondisi emosional pasien terhadap operasi akan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah obat anastesi, dan variasi anastesi ini akan mempengaruhi sistem imun dan hormonal. (c) Pasien dengan tingkat kecemasan yang berlebihan, pengalaman nyeri pasca operasi yang lebih buruk akan menurunkan sistem imun.10
Proses pembedahan akan memberikan dampak yang signifikan terhadap  status nutrisi, mulai dari pembatasan asupan makanan preoperatif sampai pada stres pasca operasi dimana kondisi nutrisi saat itu menjadi tidak optimal. Puasa preoperatif dari malam hingga saat operasi akan memperberat terjadinya resistensi insulin dan  hiperglikemia, terutama  jika terjadi pemanjangan waktu puasa yang awalnya 6-8 jam menjadi 10-16 jam.2 Pasien dengan kelainan saluran pencernaan, terutama dengan keganasan, memiliki resiko tinggi untuk terjadi malnutrisi, stres operasi dan berbagai masalah metabolik terutama pada operasi-operasi besar dengan waktu yang lama. Mempersingkat lama puasa sebelum dan setelah operasi menjadi tema yang sedang hangat dibicarakan pada saat ini. 11 Studi dari Cochrane menyebutkan tidak terdapat peningkatan resiko aspirasi pada pasien yang mengkonsumsi minumam cair 2-3 jam sebelum operasi dibandingkan pasien yang menjalani puasa konvensional.12  
Mengkonsumsi minuman karbohidrat sebelum operasi dipercaya akan meningkatkan kenyamanan pasien dengan memaksimalkan metabolisme glukosa. Terdapat alasan mengapa nutrisi pre-operatif ini dapat meningkatkan kenyamanan pasien baik sebelum maupun setelah operasi. Hipovolemia merupakan keadaan yang umum terjadi selama puasa preoperatif, sehingga optimalisasi volume cairan tubuh dapat mengurangi terjadinya komplikasi. Hal ini juga yang menjadi dasar protokol puasa minimal dua jam untuk cairan jernih, dengan asumsi bahwa pasien berada dalam kondisi terhidrasi dan tercapai total volume cairan tubuh yang mendekati normal pada saat pembedahan dilakukan.13,14                                                                                                         
 Kepustakaan :                                                                                                            

  1. Tran S. Preoperative carbohydrate loading in patients undergoing coronary artery bypass or spinal surgery. Master of science university of Toronto. 2009.
  2. Nascimento D, Nascimento J, Faria M, Caporossi C, Slhessarenko N, Waitzberg DL, etal. Evaluation of the effects of preoperative 2-hour fast with maltodextrine and glutamine on insulin resistance, acute-phase response, nitrogen balance, and serum glutathione after laparoscopic cholecystectomy: a controlled randomized trial. JPEN J parenter enteral nutr.2012;36:43-52.
  3. Awad S, Lobo DN. What’s new in perioperative nutritional support?. Curr opin anesthesiol. 2011;24:339-48.
  4. Yagci G. Effects of preoperative carbohydrate loading on glucose metabolism and gastric contents in patients undergoing maderate surgery: a randomized, controlled trial. Nutrition. 2008;24:212-6.
  5. Can MF, Yagci G, Dag B, Ozturk E, Gorgulu S, Simsek A, et al. Preoperative administration of oral carbohydrate-rich solutions: comparison of glucometabolic responses and tolerability between patients with and without insulin resistance. Nutrition. 2009;25:72-77.
  6. Yilmaz N, Cekmen N, Bilgin F, Erten E, Ozhan MO, Cosar A, et al. Preoperative carbohydrate nutrition reduces postoperative nausea and vomiting compared to preoperative fasting. J Res Med Sci. 2013; 18 : 827-32.
  7. Ljungqvist O. Preoperative carbohydrates to prepare metabolism for surgery. Acta anaesth belg. 2005.
  8. Smith I, Kranke P, Murat I, Smith A, O’sullivan, Soreide E, et al. Guideline, perioperative fasting in adults and children: guidelines from the European society of anaesthesiology. Eur J Anaesthesiol. 2011;28:556-9.
  9. Crenshaw JT, Winslow EH. Preoperative fasting duration and medication instruction: are we improving?. AORN journal.2008;88(6):963-76.
  10. Akbarshahi H, Andersson B, Norden M, Andersson R. Perioperative nutrition in elective gastrointestinal surgery-potential for improvement. Dig surg. 2008;25:165-74.
  11. Kratzing C. Nutrution is the cutting edge in surgery: peri-operative feeding pre-operative nutrition and carbohydrate loading.  Proceedings of the nutrition society. 2011;70:311-5.
  12. Glaser JK, Page GG, Marucha PT, MacCallum RC, Glaser R. Psychological influences on surgical recovery, persepectives from psychoneuroimmunology. American psychologist.1998;53(11):1209-18.
  13. Ljunggren S, Hahn RG, Nystrom T. Insulin sensitivity and beta-cell function after carbohydrate oral loading in hip replacement surgery: a double-blind, randomized controlled clinical trial. Clinical nutrition. 2013:1-7.
  14. Nygren J, Thorell A,  Ljungqvist O. Preoperative oral carbohydrate nutrition: an update. Current opinion in clinical nutrition and metabolic care. 2001;4:255-9.                                                                                                                                                                                                                                                                                                    

Sabtu, 15 Februari 2014

Pengaruh Pemberian Karbohidrat Oral Pre-operatif Pasien Kanker Kolorektal Terhadap Sensitifitas Insulin, Waktu Pemulihan dan Rasa Tidak Nyaman Peri-operatif

Usulan Peneltian, by Sudiyatmo MD


         Operasi elektif merupakan salah satu jenis tindakan pengobatan yang dilakukan hampir di seluruh dunia. Pada negara-negara berkembang, sekitar 5 % penduduknya menjalani operasi elektif setiap tahunnya.1  Sementara itu, puasa sebelum operasi elektif merupakan salah satu prosedur rutin. Puasa meliputi makanan padat maupun cair dari malam hingga waktu operasi. Alasan dilakukan puasa ini adalah untuk memastikan kekosongan lambung yang dapat mengurangi resiko terjadinya aspirasi selama proses operasi.2
            Pada beberapa institusi, pasien menjani puasa yang lama, bahkan dapat memanjang mencapai 12-16 jam. Padahal puasa yang lama dapat menimbulkan gangguan fisik dan psikologis dalam bentuk rasa haus, lapar, nyeri kepala, meningkatnya kecemasan dan rasa lelah sebelum operasi. Puasa yang lama juga akan menimbulkan pemakaian glikogen yang disimpan di hati (glukoneogenesis) dan peningkatan proses katabolisme yang dapat meningkatkan resiko-resiko terjadinya komplikasi.3,4 
                Puasa yang lama sebelum operasi juga dapat memperberat terjadinya resistensi insulin dan merangsang terjadinya hiperglikemia. Resistensi insulin pada trauma dan proses pembedahan merupakan respon metabolic yang bersifat sementara. Pada operasi medium hingga mayor akan terjadi resistensi insulin, yang besarnya berbanding lurus dengan besarnya trauma pada saat pembedahan.5 Beberapa penelitian terbaru telah membuktikan bahwa resistensi insulin post-operasi merupakan salah faktor utama dalam terjadi komplikasi. Derajat resistensi insulin pada saat pasien meninggalkan meja operasi sangat berkaitan dengan resiko terjadinya komplikasi infeksi.6
            Beberapa tahun terakhir, perhatian para ahli tertuju untuk mempersingkat waktu puasa pada pasien yang akan menjalani operasi elektif. Terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa konsumsi air, kopi, teh atau jus tanpa ampas pada 2-3 jam sebelum operasi tidak meningkatkan resiko terjadinya aspirasi selama proses operasi.6 Beberapa negara di benua Amerika dan Eropa telah menetapkan panduan puasa sebelum operasi elektif, dimana cairan jernih masih diperbolehkan hingga dua jam dan makanan padat enam jam sebelum operasi.7 
       Enhanced Recovery After Surgery (ERAS) merekomendasikan pemberiaan minuman preoperatif dengan kandungan tinggi karbohidrat, yang dapat menekan proses katabolisme selama operasi dan mencegah terjadinya resistensi insulin.7  Beberapa penelitian menunjukkan pemberian minuman karbohidrat preoperatif telah mengurangi rasa tidak nyaman, kecemasan, rasa haus dan lapar sebelum operasi serta mengurangi resistensi insulin dan mempercepat waktu pemulihan.8,9  
           Penelitian ini ingin membuktikan apakah pemberian minuman berkabohidrat tinggi preoperatif dapat mengurangi rasa tidak nyaman pasien seperti kecemasan, rasa haus, lapar, nyeri kepala, kelelahan selama masa peri-operatif, mengurangi terjadinya resistensi insulin, dan mempercepat waktu pemulihan pada pasien-pasien kanker kolorektal yang menjalani operasi.


 



Daftar Pustaka
1.  Yang Y, et al. Effects and safety of preoperative oral carbohydrate in radical distal gastrectomy, a randomized clinical trial. J cancer sci ther, 2012 ; 4 : 116-119.
2.  Ludwig RB, Paludo J, Fernandes D, Scherer F. Lesser time of preoperative fasting and early postoperative feeding are safe?. ABCD Arq Bras Cir Dig, 2013;26(1): 54-58.
3.   Yagmurdur H, Gunal S, Yildiz H, Gulec H, Topkaya C. The effects of carbohydrate-rich drink on perioperative discomfort, insulin response and arterial pressure in spinal anasthesia. J Res Med Sci, 2011;16(11): 1483-1489.
4.  Gul A, Andsoy I, Ustundag H, Ozkaya BO. Assessment of preoperative fasting time in elective general surgery. JMHM, 2013 ; 1(1) : 1-8.
5.   Faria M, et al. Preoperative fasting of 2 hours minimizes insulin resistance and organic response to trauma after video-cholecystectomy: a randomized, controlled, clinicat trial.World J surg, 2009.
6.    Ljungqvist O. Insulin resistance and enhanced recovery after surgery. Journal of parenteral and enteral nutrition, 2012;36(4):389-398.
7.   Taniguchi H, Sasaki T, Fujita H. Preoperative management of surgical patient by “shortened fasting time”: a study on the amount of total body water by multi-frequency impedance method. International journal of medical sciences, 2012; 9(7): 567-574.
8.  Oyama Y, et al. Effects of preoperative oral carbohydrates and trace elements on perioperative nutritional status in elective surgery patients. M.E.J. Anesth, 2011; 375-383.
9.  Yilmaz N, et al. Preoperative carbohydrate nutrition reduces postoperative nausea and vomiting compared to preoperative fasting. J Res Med Sci, 2013; 18 : 827-32.