Senin, 21 September 2015

Teratoma Sakrokoksigeal

Sumber : Principles of Pediatric Surgery, James A. O’Neill, Jr et al.

Teratoma adalah suatu neoplasma yang merupakan derivat dari sel totipotensial yang terdiri dari dua atau lebih lapisan sel germinal (ektoderm, endoderm, and mesoderm). Teratoma dapat terjadi pada hampir semua organ tapi lebih sering terjadi pada lokasi garis tengah (midline) atau para-aksial serta dapat dilihat dari otak hingga koksikgeal. Tumor dapat dalam bentuk padat atau kista (terkadang bercampur), dapat juga jinak (80%) atau ganas (20%), tersering ditemukan di leher, orofaring, mediastinum anterior, retroperitoneum, serta regio gonad, presakral, dan sakrokoksigeal. Berdasarkan laporan-laporan dari pusat kesehatan anak, teratoma tersering terjadi pada masa neonatus dan lokasi tersering adalah di sakrokoksigeal.

Marker Tumor
Protein serum fetal utama adalah AFP yaitu suatu alfa-globulin. Kadar AFP sering kali meningkat pada bayi baru lahir normal dan mencapai kadar dewasa pada usia 9 bulan. Setelah 4-5 hari reseksi tumor penghasil AFP, kadar AFP kembali mendekati normal yang bertahan karena sintesis hati. Pengamatan  kadar AFP pasca operasi harus dilakukan karena berguna untuk deteksi dini rekurensi tumor. Plasenta adalah penghasil hCG normal. Hormon glikoprotein yag terdiri dari sub unit α dan β. Pengukuran immunoassay hCG subunit β lebih spesifik untuk hormon ini.

Manifestasi Klinis dan Tata Laksana
Teratoma koksigeal merupakan bentuk tumor neonatal dan teratoma tersering. Dari seluruh teratoma, 50-70% berasal dari regio koksigeal. Dimana 80% terjadi pada perempuan dan 10% berasal dari kelahiran kembar. Sebagian besar kasus baru terdiagnosis pada saat baru lahir (bulan pertama kehidupan) dan kasus lainnya biasanya terlihat saat usia 4 tahun. Teratoma dapat dideteksi dengan pemeriksaan ultrasound prenatal. Gejala klinis pada fetus dengan teratoma dapat berupa polihidramnion dan perbesaran ukuran uterus yang tidak sesuai dengan usia kehamilan.
Temuan klinis yang tinggi mortalitasnya adalah hidrops fetalis dan plasentomegali. Kedua gejala ini merupakan manifestasi dari arterivenous shunting pada tumor. Hidrops fetalis berhubungan dengan dilatasi ventrikel jantung, peningkatan aliran darah aorta, dan dilatasi vena kava inferior. Tumor diklasifikasikan menurut Altman dkk. Tumor tipe I kebanyakan eksternal, menempel pada koksik dan hanya sedikit komponen presarkal (45,8%). Tumor tipe II terdapat massa eksternal dan pemanjangan signifikan pelvis presarkal (34%). Tumor tipe III dapat dilihat dari luar tapi sebagian besar massa terdapat dalam pelvis dan intra abdomen.




Gejala
Hampir sebagian besar teratoma eksternal asimtomatis, kecuali jika massanya besar. Ruptur pada tumor dapat terjadi akibat kesulitan saat proses melahirkan. Tumor pelvis atau tumor yang meluas ke dalam ronga abdomen dapat bermanifestasi berupa ko presi rektum atau rectosigmoid dan obstruksi saluran urinariuss. Munculnya gejala disfungsi neurologi mengindikasikan perluasan tumor intraspinal atau suatu kegansan. Kelainan-kelainan lain yang berhubungan dengan tumor presarkal adalah malformasi anorektal berupa anus imperforata, stenosis anorektal, agenesis anorektal, serta adanya kelainan spinal (The Currarino triad) berupa defek sakral sentral, hemivertebrae sakral, dan meningokel sakrum dan koksikgeal.

Gambar 2. Klasifikasi teratoma sakrokoksigeal 

Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik, pemeriksaan serologi AFP dan β-hCG, dan pemeriksaan radiografi lainnya. Pemriksaan foto polos tumor dapat menujukkan suatu kalsifikasi dan pada foto lateral dapat tampak pergeseran anterior rektum oleh tumor. Sakrum dapat muncul tidak normal (hemihemivertebrae, agenesis). CT Scan pelvis dengan kontras intravena dan rektal menunjukkan pergeseran traktus urinarius atau penyumbatan dan memperlihatkan adanya tumor lebih akurat. CT scan juga dapat mengevaluasi pembesaran nodus limfe peri aorta dan menujukkan jikat terdapat metasis hati. MRI bermanfaat untuk diagnostik pada kasus abnormalitas sakral vertebrae atau tumor yang meluas sampai medula spinalis. Rontgen thoraks dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan metastasi paru. Diagnosis banding tumor sakrokoksigeal termasuk limfomeningokel, limfoma, kordoma, duplikasi rektal, dan kista epideroid. Neuroblastoma juga dapat muncul pada area pre sakral.

Tatalaksana
Pilihan terapi untuk teratoma sakrokoksigeal adalah reseksi komplit. Variasi  pendekatan operatif tergantung pada luas tumor. Pendekatan sakral posterior dibutuhkan untuk lesi tipe I dan II, dimana prosedur abdominosakral kombinasi dibutuhkan untuk tumor tipe III dan IV kecuali untuk kasus darurat yang sangat jarang yang berhubungan dengan ruptur tumor, perdarahan eksternal, shunting intra tumor atau perdarahan yang dapat mempengaruhi hemodinamik neonatus dengan sangat buruk. Tumor dapat direseksi dengan operasi elektif pada minggu pertama kehidupan.
Pada pasien dengan tumor eksternal, prosedur dilakukan dengan posisi pronasi (knee chest) dengan bantuan pinggul dan bahu supaya ekspansi dada anterior adekuat selama anastesi. Prosedur dilaksanakan dengan insisi chevron terbalik (inverted chevron) dengan apeks di posisikan di atas dasar teratoma. Insisi memungkinkan paparan yang sangat baik dan memungkinkan penutupan luka jauh dari orifisium anal. Setelah mengangkat kulit dari tumor, otot rekto rektal yang telah dilemaskan harus diidentifikasi secara hati-hati. Massa diimobilisasi dekat dengan kapsulnya dan hemostasis dijaga dengan elektrokauter. Pembuluh darah utama pada tumor biasanya berkembang dari arteri primitif mid-sakral atau dari arteri cabang hipogastrik. Setelah pemisahan koksik dari sakrum, pembuluh dapat diobservasi melewati ruang pre sakral anterior ke koksikgeal. Pada lesi dengan vaskularisasi yang banyak, ligasi pembuluh trans abdominal atau oklusi vaskluar sementara pada aorta bagian bawah disebutkan dapat mengurangi perdarahan selama diseksi pre sakral dan pelvis. Otot recto-rectal disambung kembali dan otot levator disambung ke bagian superior untuk menaikkan dan menunjang rektum. Kateter suction kecil dipasang pada ruang rekto rektal dan pre sakral dan ditempatkan di bagian lateral luka. Luka ditutp lapis demi lapis dengan jahitan interrupted yang dapat diserap. Penutup diletakkan di atas luka untuk menghindari kontaminasi feses. Pasien tetap dalam posisi telungkup selama beberapa hari untuk mempertahankan kebersihan luka. Pada bayi dengan tumor sakrokoksigeal tipe III dan IV kombinasi prosedur abdominal dan perineal dilaksanakan. Dimulai dari insisi laparotomi transversal pada abdomen bawah untuk memobilisasi seluruh bagian tumor yang ada di abdomen dan untuk mengontrol suplai darah. Luka abdomen ditutup dan pasien dibalikkan dan diposisikan pada posisi telungkup untuk prosedur bagian sakral.
Komplikasi tersering dari insisi teratoma sakrokoksigeal adalah perdarahan intra operatif. Reseksi teratoma dengan perluasan intra pelvis dan intra peritoneal berhubungan dengan retensi urine temporer atau persiten pada periode post operatif dengan kesulitan menahan buang air besar. Penyebab utama mortalitas adalah syok hemoragik.

Terapi Adjuvan

Hampir seluruh teratoma sakrokoksigeal pada bayi baru lahir adalah teratoma benigna (97%) dan membutuhkan terapi lain setelah reseksi komplit. pada saat ini angka harapan hidup >95% pasien dimonitor secara periodik dengan menggunakan kadar AFP, foto thoraks, dan pemeriksaan fisik teliti dengan pemeriksaan yang dipusatkan pada anus.Pada kasus yang sangat jarang tumor jinak yang sudah direseksi atau diangkat dapat berhubungan dapat menjadi keganasan berulang.. Insiden keganasan pada lesi sakrokoksigeal adalah 20% dan termasuk karsinoma embrional tumor sinus endodermal, tumor sel germinal, dan koriokarsinoma. Tumor ganas diterapi dengan kemoterapi adjuvan. Obat kemo neoplastik yang paling aktif adalah cisplastin, bleomisin, dan vinblastin. Walaupun teratoma ganas memiliki prognosis buruk pada masa lalu laporan terkini menyebutkan harapan hidup setelah pemberian kemoterapi intensif. Setelah spesimen biopsi diambil untuk menentukan keganasan, pasien diterapi dengan kemoterapi kombinasi. Kadar AFP, CT Scan dan Rontgen thoraks dimonitor ketat jika respon tumor baik, reseksi tumor dapat dicoba. Reseksi komplit mungkin dilakukan setelah kemoterapi, gambaran histologis tumor sering menjadi teratoma benigna menggambarkan hasil destruksi komponen maligna dari kemoterapi. 

Minggu, 20 September 2015

Neuroblastoma

Sumber : Principles of Pediatric Surgery, James A. O’Neill, Jr et al.

Neuroblastoma merupakan tumor embrional  yang berasal dari neural crest pada saraf simpatis, meliputi otak, leher (3%), mediastinum (20%), gangglion parasimpatis di paraaorta (24%), pelvis (3%) dan medula adrenalis (50%). Lebih dari 25% kasus terdiagnosa sebelum usia 1 tahun, 50% kasus sebelum 2 tahun dan 90% sebelum usia 8 tahun. Alkohol sebagai teratogen, pada wanita hamil yang mengkonsumsi alkohol dapat terjadi carcinoma adrenal. Metabolit tumor pada janin akan menimbulkan gejala hipertensi, berkeringat, nyeri kepala, dan palpitasi pada ibu.
Sel – sel neuroblastoma mensekresikan banyak produk, termasuk hormon vasoactive intestinal polypeptida (VIP) dan substansi vasoaktif lain  seperti katekolamin  homovanilic acis (HVA).

Manifestasi Klinik
             Gejala neuroblastoma sangat bervariasi berdasarkan lokasi tumor dan ada tidaknya metastasis tumor. Metastasis terjadi secara hematogen dan paling banyak terjadi pada tulang, hati dan kulit, jarang bermetastasis ke paru dan otak. Neuroblastoma muncul sebagai masa padat, keras, dan noduler. Tumor pada gangglion stellate dapat muncul sebagai Honer’s Syndrome (ptosis, miosis, anhidrosis dan heterochromia). Manifestasi sistemik, seperti anemia, gagal tumbuh, penurunan berat badan, dan malnutrisi akan terjadi pada stadium lanjut. Hipertensi umum terjadi, sebagai akibat pelepasan katekolamin dari tumor. Paraplegia atau sindrom cauda equina dapat terjadi sebagai akibat perluasan tumor pada foramen intervertebralis.
Diagnosis neuroblastoma ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan radiologis dan analisis kimia secara serial. Foto rontgen sederhana yang mencakup area leher, dada dan abdomen dapat menunjukkan adanya kalsifikasi pada tumor. USG sebagai modalitas awal untuk masa pada leher dan abdomen, yang akan menunjukkan massa solid yang berlobus. Pada tumor retroperitoneal, CT scan dengan kontras dapat membedakan Wilms’ tumor dengan neuroblastoma dan CT dapat menunjukkan adanya metastasis ke hati.  MRI merupakan teknik pencitraan yang paling berguna dalam mencari tahu adanya tumor extradural dan adanya keterlibatan sumsum tulang dan gangguan pembuluh darah besar. Scan tulang menggunakan isotop technetium-99m biasanya dapat mengetahui adanya metastasis pada korteks tulang dan isotop tersebut ditangkap oleh tumor primer. Iodin-123 berguna untuk identifikasi tumor primer dan metastasis. Aspirasi sumsum tulang dapat menunjukkan rosettes dari metastasis neuroblast. Immunositologi dari aspirasi sumsum tulang lebih sensitif untuk mendeteksi sel tumor dan juga dapat menginformasikan tentang prognosis. Selain itu, adanya peningkatan LDH pada pemeriksaan darah merupakan marker adanya perubahan cepat pada sel yang diproduksi oleh sel tumor.





Gambar 1. CT scan abdomen pasien dengan neuroblastoma kiri

Staging dan Penatalaksanaan
Staging tumor penting sebagai petunjuk terapi dan dalam penentuan prognosis.
Evans Staging System
Stage
Description
I
Tumor terbatas pada organ asalnya
II
Tumor meluas melebihi organ asalnya tapi tidak melewati midline; nodus limfatikus unilateral mungkin terlibat
III
Tumor meluas melewati midline; nodus limfatikus bilateral mungkin terlibat
IV
Metastasis jauh (tulang, organ lain, jaringan lunak, nodus limfatikus jauh)
IV-S
Dapat berupa stage I atau II; adanya penyakit pada liver, jaringan subkutan dan sumsum tulang, tapi tanpa bukti keterlibatan korteks tulang


Bila tidak ada metastasis dan tumor memungkinkan untuk direseksi, operasi diindikasikan dengan tujuan reseksi komplit.  Kemudian, tumor segera dikirim untuk pemeriksaan pathologi guna pemeriksaan DNA flow cytometry, N-myc oncogene, dan electromicroscopy. Pada pasien dengan metastasis dan tumor yang besar, serta pada pasien yang tumornya tidak memungkinkan direseksi tanpa mengangkat organ signifikan seperti ginjal, duodenum, atau pembuluh darah besar, diagnosis dapat dibuat secara klinis dengan munculnya tumor dan peningkatan katekolamin dalam urin. Pemeriksaan ini idealnya dilaksanakan dengan open biopsi dan membutuhkan minimal 1 gram tumor yang viable; atau sebagai alternatif, dengan biopsi perkutaneus menggunakan core needle atau biopsi sumsum tulang, terutama pada pasien dengan resiko operasi buruk. Bila tumor berespon baik, direncanakan second-look surgery (atau delayed primary surgery) setelah 3 bulan dengan tujuan komplit reseksi makroskopik.
Beberapa tahun belakangan, penggolongan resiko telah membantu dalam pedoman terapi. Untuk pasien resiko rendah tanpa gejala ancaman terhadap organ atau nyawa, terapi kuratif biasanya dengan operasi, dan kemoterapi, yang bukan tanpa resiko bagi infant muda, dilakukan hanya pada pasien dengan rekurensi atau progresif. Untuk pasien resiko menengah ditatalaksana dengan kemoterapi kombinasi. Agen yang teraman dan terefektif adalah siklofosfamid, doxorubicin, carboplatin dan etoposide; vincristin, cisplatin dan agen lainnya juga aktif. Untuk pasien resiko tinggi, prognosis yang buruk membutuhkan kombinasi dari berbagai agen kemoterapi, kemudian dilanjutkan operasi untuk mendapatkan remisi komplit (tidak terlihat secara makroskopis). Radioterapi lokal dapat digunakan kemudian jika ada ada tumor yang tidak dapat direseksi. Selain itu, radioterapi diberikan pada tumor primer karena tingginya angka rekurensi lokal.
Tumor dapat muncul dalam berbagai bentuk, dapat sebagai hepatomegali masif dengan distres pernapasan dan gejala neurologis akibat cord compression. Kemoterapi dosis rendah dengan atau tanpa radiasi dosis rendah biasanya efektif untuk menghentikan pertumbuhan tumor. Pada beberapa anak dapat timbul paraplegi, paresthesi, atau gangguan gaya berjalan dikarenakan kompresi tumor pada spinal cord. Hal ini sering terjadi pada tumor mediastinal posterior yang dapat menginfiltrasi ke dalam foramen nerve trunks. Dilakukan kemoterapi untuk mengecilkan tumor. Operasi reseksi dilakukan pada pasien yang menunjukkan kemunduran progresif neurologis setelah pemberian kemoterapi.

Prognosis
Dua kunci utama pada angka kelangsungan hidup neuroblastoma adalah umur pasien dan stadium penyakit saat didiagnosis. Infants mempunyai angka kelangsungan hidup yang lebih baik. Anak dengan tumor primer di leher atau pelvis mempunyai 100% survival rate, sementara itu yang dengan tumor mediastinum mempunyai 81% survival rate. Prognosis terburuk pada infants dan anak dengan tumor primer retroperitoeum (adrenal dan paraspinal). Jumlah yang tinggi dari LDH, NSE, dan Feritin menandakan adanya tumor yang besar dengan banyak perubahan pada sel yang dihubungkan dengan prognosis buruk. Namun marker tersebut saat ini kurang signifikan dibandingkan N-Myc oncogen.
Prognosis buruk terjadi pada pasien stage III atau IV, amplified N-myc, histologi yang buruk, umur lebih dari 1 tahun atau ada tumor di abdomen. Pasien resiko menengah mempunyai 3-year survival rate lebih dari 80% dengan kemoterapi intensif; pada pasien resiko rendah hingga lebih dari 90% (biasanya sembuh hanya dengan operasi). Selain itu, tumor primer retroperitoneal, peningkatan rasio HVA-MVA, peningkatan serum LDH dan feritin, Diploid DNA flow cytometry dan malnutrisi juga merupakan penanda prognosis buruk.

Tumor Wilms’ (Nefroblastoma)

Sumber : Principles of Pediatric Surgery, James A. O’Neill, Jr et al.

Tumor Wilms’ adalah tumor embrional yang berasal dari ginjal. Sekitar 10% dari keganasan pediatri adalah tumor Wilms’. Kebanyakan kasus tumor Wilms’ didiagnosis pada anak umur 1-4 tahun. Tumor Wilms’ dapat ditemukan pada anak lebih tua, dan kadang ditemukan pada remaja dan dewasa muda. Walaupun tumor Wilms’ terjadi secara sporadik, isolasi gen penyebab tumor Wilms’ telah dilaporkan. Gen pertama (WT1) telah  diisolasi untuk mengetahui asosiasi perkembangan abnormal (aniridia, malformasi genitourinarius, dan retardasi mental (sindroma WAGR) dan peningkatan risiko kejadian tumor Wilms’. Gen kedua yang berhubungan dengan tumor Wilms’ adalah WT2 yang ditemukan pada kromoson 11 pada band 15. Gen WT2 juga ditemukan pada sindrom Beckwith-Widemann (sindrom pertumbuhan berlebih termasuk viseromegali, makroglosia, dan hiperinsulinemik hipoglisemia).




Manifestasi Klinis
Umur rata-rata munculnya tumor Wilms’ adalah 3 tahun. Berbeda dengan Neuroblastoma, tumor Wilms’ secara relatif tidak umum dijumpai pada anak kurang dari 3 bulan, walaupun demikian, satu pertiga dari kasus tumor Wilms’ ditemukan pada anak umur 6-12 bulan. Tumor Wilms’ biasanya muncul sebagai massa abdomen yang besar, bulat, halus,dan tidak nyeri yang sering dideteksi orang tua saat memandikan anaknya atau pada pemeriksaan rutin di dokter. Hematuria masif ditemukan pada 10-15% kasus, yang disebabkan oleh kerusakan jaringan karena membesarnya ginjal yang disebabkan oleh tumor. Massa flank bilateral kadang teraba pada tumor Wilms’ bilateral. Anorekisa, demam, dan berat badan turun terjadi pada 10-15% kasus. Peningkatan tekanan darah terjadi pada 20% kasus yang berkaitan dengan hipertensi yang diinduksi renin-angiotensin akibat kompresi aparatus jukstaglomerular oleh tumor. Kadar renin serum dapat meningkat.


Gambar 1. Massa abdomen kiri pada tumor wilm's

Evaluasi Diagnostik
Foto polos abdomen sering menunjukkan massa dengan desakan visera dan kalsifikasi (<10%). Kalsifikasi biasanya ditemukan pada lokasi perifer tumor dan menunjukkan gambaran cangkang telur dibandingkan dengan bintik kalsifikasi pada bayi dengan neuroblastoma adrenal. Ultrasonografi abdomen biasanya menunjukkan ginjal sebagai lokasi tumor primer, menentukan apakah tumor solid atau kistik (tumor Wilms’ biasanya muncul sebagai tumor solid), dan mengindikasikan ekstensi intravaskular sampai ke vena renalis, vena cava inferior, terkadang atrium kanan. CT scan menunjukkan perluasan tumor pada ginjal, sering dengan parenkim normal di sekitar margin dengan distorsi instrinsik dan displacement medial. CT scan juga digunakan untuk mengidentifikasi adanya pembesaran nodus limfoid pararenal, paracaval, dan para aorta, menentukan kemungkinan adanya tumor Wilms’ pada ginjal kontralateral, serta menentukan apakah terdapat metastase pada hepar. Foto rontgen thoraks diambil untuk menentukan adanya metastasis pulmoner. Penelitian menunjukkan tiga tempat metastase yang umum terjadi, yaitu nodus limfe lokal dan regional, paru, dan hepar. CT  scan tidak dapat menentukan resektabilitas tumor, karena resektabilitas secara akurat dieksplorasi intraoperatif.

Gambar 2. CT scan abdomen pada tumor wilm's, tampak tumor pada ginjal kiri

Staging
Staging berdasarkan  North America with Wilms’ tumor pada protokol NWTSG adalah berdasarkan staging pembedahan dan evaluasi radiografi untuk metastasis. Staging pembedahan dievaluasi berdasarkan penetrasi kapsul ginjal, keterlibatan nodus limfe, margin mikroskopik positif untuk tumor residu, dan tumor renal bilateral. Klasifikasi histologis tumor Wilms’ lebih krusial untuk menentukan prognosis  dan terapi tumor daripada staging penyakit.

Stage
Penjabaran
I
Tumor unilateral berkapsul tanpa keterlibatan kapsul atau nodus lmif yang dapat direseksi komplit tanpa keluarnya tumor
II
Tumor unilateral dengan keterlibatan kapsul renal atau lemak hilus, perlengketan ke struktur lokal, termasuk vena renalis, tanpa keterlibatan nodus limfe yang dapat direseksi komplit tanpa jeluarnya tumor
III
Tumor unilateral dengan keterlibatan nodus limfe regional, ruptur tumor peroperatif, tumor keluar secara signifikan intraoperatif, reseksi inkomplit, atau biopsi tumor ...?
IV
Metastase ke paru, tulang, otak, dan heoar dan keterlibatan nodus limfe jauh
V
Tumor renal bilateral

Teknik Operasi
Manajemen operatif tumor Wilms’ terdiri dari persiapan operasi, reseksi radikal monitor anestesi umum. Prosedur dilaksanakan dengan insisi panjang secara transversal transabdominal dua jari di atas umbilikus atau insisi torakoabdominal. Insisi memanjang dari garis midaksilaris pada sisi ipsilateral sampai garis aksila anterior pada sisi kontralateral. Insisi harus cukup besar untuk mengevaluasi kedua ginjal dan untuk mengangkat lesi tanpa rmenyebabkan tumor ruptur. Insisi pada regio flank tidak adekuat untuk mencapai tujuan ini. Sangat penting untuk mencegah pecahnya tumor karena hal tersebut meningkatkan rekurensi terjadinya tumor abdomen. Jika tumor besar dan melibatkan sisi atas ginjal dan secara signifikan mengangkat diafragma, insisi torakoabdominal dapat membantu.
Ginjal berlawanan harus dievaluasi terlebih dahulu untuk melihat kemungkinan tumor. Pada anak dengan tumor Wilms’ pada sisi kanan, fleksura hepatika, perlengketan dengan kolon kanan dan mesenterium harus dilepaskan dengan hati-hati dari permukaan tumor dan dibuang dari medial. Tumor dibebaskan secara hati-hati dari duodenum dan hepar, untuk melihat paparan vena cava intrahepar.
Jika memungkinkan, hilum ginjal kanan dikerjakan terlebih dahulu. Arteri dan vena renalis diindentifikasi, vena dipalpasi secara hati-hati untuk melihat ekstensi trombus tumor ke intravaksular, jika bebas tumor, vena dan arteri masing-masing diligasi dan dipotong. Vena dan arteri renalis proksimal diligasi dengan benang. Ligasi dini membatasi hilangnya darah selama reseksi dan secara teoritis mengurangi risiko metastasis hemotogen dan limfogen selama prosedur. Ligasi dini tidak selalu memungkinkan untuk dilakukan, dan mobilisasi tumor dapat dibutuhkan pada beberapa kasus untuk mengidentifikasi pedikel vaskular tanpa merusak organ lain. Nodus limfe pada hilum ginjal dan paraaorta ipsilateral dieksisi untuk keperluan staging.
Pada anak dengan tumor pada sisi kiri, fleksura splenikus kolon dimobilisasi, dan kolon desenden serta mesenterium dipisahkan dari tumor. Limpa dan pankreas diangkat dan diretraksi ke depan dan ke atas untuk melihat seluruh ruang retroperitoneal dan diafragma. Diseksi medial dapat memperlihatkan aorta dan vena renalis kiri dapat terlihat melewati aorta sebelum masuk ginjal. Vena renalis dipalpasi dan dievaluasi untuk ekstensi tumor intravaskular. Arteri dan vena renalis secara hati-hati diligasi dua kali dan dipotong. Tumor dibebaskan dengan mendiseksi massa keluar dari aorta. Aarteri mesenterika superior diidentifikasi dan dipertahankan. Ureter kiri dipotong dekat buli, dan diseksi diselesaikan dengan mengangkat nodus limfe paraaorta kiri dengan spesimen untuk mengevaluasi keterlibatan tumor.
Manajemen tumor Wilms’ bilateral tergantung luasnya tumor pada kedua ginjal dengan tujuan untuk mempertahankan parenkim fungsional ginjal yang bebas tumor. Prosedur harus diawali dengan biopsi bilateral untuk menentukan histologi tumor kedua ginjal. Pasien diterapi dengan kemoterapi berdasarkan histologi dan staging, serta dikaji ulang berdasarkan CT scan dengan kontras untuk mengevaluasi respon tumor dan menentukan apakah operasi kedua bermanfaat. Jika tumor bilateral menetap, kemoterapi tambahan diberikan, dan eksplorasi operatif berikutnya ditunda. Operasi ketiga dapat dibutuhkan untuk  membuang sisa tumor dan mempertahankan jaringan ginjal. Pilihan yang tersedia pada pasien langka ini hanya nefrektomi. Perawatan selanjutnya pada pasien ini adalah dialisis peritoneal atau hemodialisis dan kemoterapi kira-kira setahun setelah percobaan transplantasi ginjal.



Tatalaksana dan prognosis
Setelah dilakukan eksisi, tatalaksana selanjutnya tergantung pada staging dan histologi tumor. Hal ini juga menentukan apakah pasien tersebut menerima radiasi lokal atau tidak. Respon tumor FH dalam terapi baik, dengan hasil dari studi keempat NWTSG yang paling baru (NWTS-4) melaporkan bahwa dalam 2 tahun ini, rata-rata angka bebas relaps, yaitu stage I FH 94,9%, stage 1/anaplasia 87,5%, stage II/FH 85,9%, stage III/FH 91,1%, stage IV/FH 80,6%, dan stage I hingga IV/CCSK 84,1% (gambar 20-3).
Terapi untuk tumor UH lebih diintensifkan karena respon yang buruk terhadap standar terapi. Pada protokol saat ini, anak-anak dengan tumor anaplastik mendapatkan terapi dengan siklofospamid dan etopuside dengan alternatifnya siklofospamid, vincristine, dan doxorubicin. Hasil dari NWTS-1 dan NWTS-4 menunjukkan bahwa anak-anak dengan anaplasia yang difus memiliki harapan hidup 4 tahun dengan stadium sebagai berikut: stage II 55%, stage III 45%, stage IV 47%. Hasil studi NWTSG bahwa doxorubicin meningkatkan angka harapan hidup 6 tahun, bebas kambuh 61,5%.
Sebuah terapi alternatif pada pasien stage III dan IV, yaitu dengan kemoterapi preoperatif yang biasa digunakan di Eropa yang mengacu pada peraturan yang berkembang pada Internal Society of Pediatric Oncology. Konsepnya adalah dengan membasmi tumor, reseksi lebih mudah dan lebih aman untuk menurunkan angka kejadian ruptur saat operasi. Masalah utamanya adalah dalam mengevaluasi terdapat adanya ambiguitas dalam staging tumor.
Peran radiasi pada pasien dengan tumor Wilms’ telah berubah. Dikarenakan terjadi peningkatan efek lambat berbahaya, sepeti kardiomiopati, fibrosis paru, dan neoplasma ganas, radiasi saat ini lebih selektif diterapkan. Pasien dengan stage III dengan tumor sisa yang besar atau kecil, tumor spill intrabdominal, dan tumor yang menyebar ke regio nodus limf menerima radiasi dosis 1080 cGy. Pasien dengan keterlibatan intraperitonial yang difus, ruptur intraperitoneal preoperatif, area untuk mengkompresi abdomen secara menyeluruh beserta pelvis diberikan dosis radiasi 1050cGy.  Stage IV  dengan keterlibatan intraperitoneal diberikan dosis 1200 cGy.
Manajemen dari tumor wilm’s bilateral harus berdasarkan dua tujuan, yaitu untuk mempertahankan reseksi tumor komplit dan kedua untuk menyelamatkan parenkirm ginjal dan mencegah gagal ginjal. Rekomendasi terapi saat ini termasuk inisial biopsi bialteral, kemoterapi, radiasi, dan penundaan reseksi tumor untuk mendapatkan resolusi maksimal.


Sabtu, 28 Februari 2015

Gastroschisis dan Omphalocele


Referensi :
Pediatric Surgery, 6th edition, Jay L. Grosfeld.
SABISTON, Textbook of Surgery, 19th edition.

Embriology
Pada minggu ke-5 kehamilan, usus pada midgut mengalami fase elongasi dan berkembang dalam umbilical coelom, umbilical coelom merupakan rongga pada body stalk yang terletak pada permukaan anterior embrio. Pada minggu ke-10 kehamilan, usus midgut kembali ke rongga peritoneum untuk melanjutkan proses rotasi dan fiksasi. Jika usus mengalami kegagalan untuk kembali, maka bayi akan lahir dengan kondisi dengan isi rongga abdomen yang menonjol keluar dinding perut melalui umbilical ring dengan kantong yang masih utuh membungkus organ viscera, kondisi ini dinamakan omphalocele. Akibat kegagalan proses ini terjadi pada masa awal kehamilan, bayi dengan omphalocele seringkali muncul dengan kelainan bawaan lain yang menyertai. Kegagalan perkembangan cephalic fold akan menyebabkan ectopia cordis, dan kegagalan perkembangan  caudal fold menyebabkan defek pada bladder dan cloaca extrophy.
Sementara pada gastroschisis, adanya organ visera diluar dinding abdomen disebabkan oleh kegagalan umbilical coelom untuk berkembang. Sehingga terjadi keterbatasan rongga abdomen dalam fase elongasi midgut yang kemudian melakukan ekspansi dan keluar dinding abdomen pada sisi kanan umbilicus. Mengapa pada sisi kanan umbilicus, hal ini disebabkan karena bagian tersebut sebagai bagian terlemah akibat tidak terdapatnya vena umbilical kanan, yang telah mengalami resorpsi pada minggu ke-4 kehamilan. Pada gastroschisis usus mengalami oedem, menebal,dan terbungkus dengan fibrin-fibrin. Dahulu kondisi ini dianggap sebagai akibat meconium pada cairan amnion. Namun kemudian terbukti dari bahwa, sesungguhnya kondisi usus pada gastroschisis masih normal hingga 20 menit pertama pasca kelahiran. Setelah itu terjadi perubahan akibat paparan udara pada usus, dan terjadi oklusi dari vena mesentrica pada level defek, yang menyebabkan terjadinya edema dan transudasi cairan yang mengandung protein.


Pemeriksaan Antenatal
Ultrasonografi. Saat ini pemeriksaan antenatal dapat memastikan diagnosis dini dari omphalocele dan gastroschisis. Keduanya dapat dibedakan melalui pemeriksaan ultrasonografi dengan ada tidaknya kantong, hernia umbilical, dan adanya hepar pada defek. Omphalocele dapat terdeteksi pada usia kehamilan 18-24 minggu dan gastroschisis pada usia kehamilan 20-27 minggu. Dengan USG juga dapat ditemukan adanya atresia intestinal yang menyertai gastroschisis atau kelainan jantung yang menyertai omphalocele.
Cairan Amnion dan Serum. Peningkatan kadar alpha fetoprotein baik serum maupun cairan amnion dan peningkatan acetylcholinesterase berkaitan dengan adanya defek dinding abdomen jika tidak ditemukan myelomeningocele.


USG antenatal pada kasus omphalocele.

Omphalocele
Omphalocele ditandai dengan klinis kelainan di tengah dinding abdomen. Umumnya defek berukuran cukup besar (> 4 cm), dengan kantong pembungkus yang masih utuh. Kantong terdiri dari amnion sebagai lapisan terluar, dan peritoneum pada lapisan dalam. Isi kantong dapat hepar, midgut, atau organ lain seperti limpa. Bayi biasanya lahir dalam kondisi cukup bulan. Defek yang < 4 cm dapat muncul sebagai hernia umbilical. Sebanyak 50% bayi dengan omphalocele biasanya hadir dengan kelainan bawaan lainnya. Kelainan bawaan lainnya yang umum terjadi adalah extropia bladder atau kloaka dan pentalogy of Cantrell (omphalocele, hernia diagprahma anterior, sternal cleft, kelainan jantung, seperti VSD.
Penatalaksanaan awal omphalocele dimulai dengan melakukan preservasi kantong yang masih utuh dengan kasa yang lembab dan steril atau kantong plastik steril. Dilakukan pemasangan NGT untuk dekompresi, terapi cairan dan antibiotik. Pemeriksaan rectal juga bertujuan untuk melakukan evakuasi mekonium. Mencegah hipotermia termasuk bagian yang sangat penting. Follow up diagnostik dilakukan untuk mencari kemungkinan kelainan bawaan lain. Operasi penutupan primer pada defek ukuran kecil dapat dipertimbangkan. Sebagai alternatif untuk pilihan terapi tutup primer adalah dengan silo, skin flap, atau prosthetic patch closure. Untuk omphalocele yang berukuran besar dapat dirawat dengan pemberian agen topikal seperti betadin salep, atau silver nitrat dan membiarkan kantong mengalami penebalan dan epitelisasi secara bertahap. Secara umum prognosis bayi dengan omphalocele tergantung pada besarnya defek dan adanya kelainan bawaan lain.
Pada omphalocele umumnya penutupan primer tidak dapat langsung dikerjakan karena rongga abdomen yang lebih kecil dan kantong melekat pada hepar dan ligamentum falciform. Komplikasi yang dapat muncul akibat penutupan primer terlalu awal adalah peningkatan tekanan intra-abdomen, yang kemudian menyebabkan gangguan pernapasan, menurunnya aliran balik vena diikuti menurunnya volume urin dan cardiac output, gangguan aliran darah pada organ pencernaan, asidosis akibat kinking dari vena hepatica.
Teknik operasi : Insisi sirkumferensial pada kulit beberapa milimeter dari kantong mengelilingi defek dan dilakukan pembuatan flap hingga mencapai otot rektus abdominis. Kemudian dilakukan eksisi/pemotongan kantong dengan ligasi vasa umbilical dan urachus. Usus dikembalikan ke rongga intra-abdomen lebih dahulu, kemudian diikuti dengan hepar. Hepar akan membantu dalam fiksasi usus tetap berada pada posisinya. Untuk penutupan primer, dilakukan penjahitan matras pada semua lapisan dinding abdomen terkecuali kulit. Kulit dijahit dengan running suture. Dapat dipertimbangkan untuk melakukan jahitan subcuticular pada kulit untuk mencapai kosmetik yang lebih baik.

Gastroschisis
Pasien biasanya lahir dalam kondisi prematur. Defek biasanya terjadi di sisi kanan umbilical cord. Defek biasanya berukuran rata-rata < 4 cm. Dalam 20 menit pertama setelah lahir, usus biasanya masih dalam kondisi normal, kemudian dinding usus yang keluar akan menebal dan disertai eksudat fibrin sehingga loop usus menjadi sulit untuk dipisahkan. Karena itu dibutuhkan reduksi dan penutupan secepatnya pasca kelahiran. Umumnya bayi yang telah terdeteksi melalui pemeriksaan antenatal, dapat langsung dipersiapkan untuk penutupan defek segera setelah kelahiran. Kelainan bawaan lain cukup jarang terjadi, dan biasanya berkaitan dengan midgut, atresia intestinal terjadi pada 15% kasus. Bayi harus ditangani dengan hati-hati untuk menghindari trauma pada usus dan kehilangan cairan. Hati- hati terjadinya volvulus.


Bayi dengan gastroschisis (gambar : koleksi pribadi)


Teknik operasi : setelah dilakukan pembiusan, dilakukan reduksi konten usus, termasuk evakuasi mekonium per-rektal. Perlu dipastikan tidak adanya atresia usus, yang sering menyertai kasus gastroschisis. Manuver operasi lainnya seperti operasi pada omphalocele. Penutupan dengan kosmetik yang baik dapat dicapai dengan membiarkan umbilikus intak. Umbilikus akan berada disamping sisi penjahitan. Jika jahitan terlalu ketat, dapat dipertimbangkan relaxing incision pada sisi lateral abdomen kanan dan kiri.Untuk penutupan primer, usus dikembalikan ke dalam rongga intra-abdomen dan dilakukan aproksimasi fascia dan kulit. Jika organ viscera tidak dapat dimasukkan ke dalam intra-abdomen, maka usus dimasukkan secara serial, dan dilakukan penjahitan tiap 5-7 hari. Untuk sementara dapat dilakukan penutupan usus/defek dengan silo bag modifikasi. Selama periode postoperasi, jika penutupan kulit terlalu ketat, maka dibutuhkan paralisis otot untuk menjamin perfusi dan mencegah asidosis metabolik. Sebagian besar pasien akan mengalami kondisi ileus yang lama.


Pemantauan Tekanan Intra-abdomen Pasca Operasi
Pasca penutupan primer perlu dilakukan pemantauan tekanan intraabdomen, yang lazim dinilai melalui tekanan intravesika. Tekanan < 12 mmHg dianggap aman. Tekanan 15-20 mmHg perlu observasi ketat,dengan kemungkinan dilakukan intervensi. Jika tekanan > 20 mmHg, maka perlu dilakukan tindakan invasif dengan membuka kembali penjahitan.



Gambar gastroschisis dengan penutupan silo modifikasi dari urin bag (gambar : koleksi pribadi)



Gambar bayi pasca penutupan defek hari ke-8 (gambar : koleksi pribadi)







Sabtu, 14 Februari 2015

HIPONATREMI (Sebuah kesalahan yang selama ini terjadi dalam mengkoreksi hiponatremi)


Diringkas dari : The American Journal of Medicine (2013) : Diagnosis, Evaluation and Treatment of Hyponatremia Expert Panel Recommendations.

Hiponatremia ditandai dengan kadar [Na+] serum < 135 mmol/L (1 mmol/L = 1 meq/L). 15 – 30% pasien yang dirawat menderita hiponatremia akut atau kronis. Insidensi meningkat pada pasien dengan gagal jantung, cedera kepala, dan sirosis (27% dan 50%).
Hiponatremia merupakan salah satu bentuk gangguan yang sering terjadi dalam praktek klinis, sekitar 15-30% pasien yang dirawat mengalami hiponatremia akut atau kronis. Hiponatremia berat (<115 mmol/liter) dapat menimbulkan gangguan neurologis seperti menurunnya kesadaran, kejang bahkan koma. Walaupun pada sebagian besar kasus hiponatremia tidak bergejala, namun setidaknya terdapat tiga alasan yang menjadikan kondisi hiponatremia menjadi penting, yaitu :
  1. Hiponatremia akut (<48 jam) dan derajat berat dapat menyebabkan tingginya angka morbiditas dan mortalitas
  2. Pada berbagai penyakit yang berbeda; efek samping, termasuk angka mortalitas, lebih tinggi pada pasien hiponatremia
  3. Koreksi yang cepat terhadap keadaan hiponatremia kronis, dapat menyebabkan deficit neurologis yang bermakna bahkan kematian

Walaupun umum terjadi, hiponatremia belum sepenuhnya dimengerti. Hal ini disebabkan banyak kondisi yang mendasari terjadinya hiponatremia, disertai dengan patofisiologi yang banyak ditambah dengan kondisi klinis dan yang berbeda baik pada kondisi akut maupun kronis. 
Tingginya angka mortalitas berkaitan komplikasi terjadinya enselopati hiponatremia. Mortalitas pasien gagal jantung dengan hiponatremia juga meningkat. Hiponatremia pada pasien merupakan prediktor terjadinya sindrom hepatorenal, enselopati hiponatremia dan kematian. Hiponatremia juga prediktor outcome yang buruk pada pembedahan. Hiponatremia berhubungan dengan ketidakseimbangan berjalan.

Peran Vasopressin dalam Hiponatremia
Sebagian besar kondis hipontaremi ditandai dengan peningkatan kadar arginine vasopressin (AVP) dalam plasma. Sekresi AVP dirangsang oleh peningkatan osmolalitas plasma melalui aktivasi osmoreseptor yang terletak pada anterior hipotalamus dengan mengurangi volume atau tekanan darah melalui aktivasi osmoreseptor yang terdapat pada sinus karotis, arkus aorta, atrium dan vena pulmonalis. Ketika osmolalitas menurun, maka kadar AVP menjadi tidak terdeteksi dan ginjal mengeksresikan solute free-water sehingga mencegah menurunnya osmolalitas plasma. Pelepasan AVP yang secara terus menerus menyebabkan retensi air dan hiponatremia dengan hipovolume, sama halnya terbentuknya edema pada pasien gagal jantung dan sirosis.

KLASIFIKASI DAN DIAGNOSA BANDING HIPONATREMIA
Osmolalitas cairan tubuh dipertahankan dalam kadar normal oleh sekresi AVP dan rasa haus. Osmolalitas normal cairan tubuh adalah 280-295 mOsm/kg. Natrium merupakan anion yang dapat melintas membrane sel, sehingga hiponatremia identik dengan hipoosmolar. Namun terdapat dua keadaan dimana dua keadaan ini menjadi tidak senada yaitu :
  • 1Pseudohipontaremia : Peningkatan kadar lemak dan protein dalam plasma dapat menyebabkan kadar Na+ serum akan mengurangi secara relative proporsi Na+ secara relative, namun tidak mengubah jumlah total partikel yang terlarut. Sehingga osmolalitas dapat saja normal, namun hiponatremia.
  • Isotonik atau hipertonik hiponatremia : terjadi pada kondisi dimana, terdapat peningkatan  kadar zat yang terlarut dalam plasma. Hal ini akan menyebabkan perpindahan air dari intracel ke kompartemen ekstrasel, sehingga melarutkan Na+. Hiperglikemia merupakan adalah contoh fenomena yang terbanyak. Hiperglikemia akan merangsang diuresis osmotik, sehingga kondisi menjadi hipertonik.



BEBERAPA KONDISI YANG MENYEBABKAN HIPONATREMIA
Terapi Diuretik
Obat-obatan diuretik terutama golongan tiazid sering menyebabkan hiponatremia. Furosemid juga dapat menyebabkan hiponatremia dengan cara menghambat reabsorbsi natrium pada ascending limb pada loop henle (namun jarang). Sering terjadi terutama pada pasien gagal jantung.

Cerebral Salt Wasting
 Merupakan sindrom yang pasca pendarahan subaraknoid, cedera kepala, dan operasi bedah syaraf. Terjadi akibat stimulus baroreseptor yang memicu sekresi AVP. Pada 187 kasus hiponatremia pada bedah syaraf hanya 3,7% yang mengalami CSW.

Exercised-Associated Hyponatremia (EAH)
Pelari maraton dengan EAH akan mengeluarkan volume urin yang lebih banyak berbeda dengan, pelari dengan normonatremia yang akan mengeluarkan volume urin yang lebih pekat. Menurunnya kadar natrium serum setelah olahraga berbanding dengan peningkatan berat badan. Pada pelari maraton, indeks masa tubuh yang rendah, lama latihan > 4 jam, konsumsi cairan tiap mil, minum sebanyak mungkin selama berlari memiliki resiko untuk terjadi EAH. Atlit wanita lebih berisiko untuk mengalami EAH. Atlit dengan EAH cenderung overhidrasi.
Seperti dilansir The New York Times, Kamis (6/10/2011), dalam beberapa tahun terakhir, beberapa pelari maraton meninggal akibat minum terlalu banyak, kondisi yang berbahaya yang disebut hiponatremia atau keracunan air.  Sebuah survei kedua dilakukan oleh para peneliti di Loyola University Medical Center dan telah diterbitkan dalam British Journal of Sport Medicine pada bulan Juni 2011. Survei tersebut mencapai kesimpulan bahwa, hampir setengah dari pelari dapat minum terlalu banyak selama perlombaan yang mereka ikuti. Hanya setengah dari pelari yang disurvei oleh para peneliti Loyola melaporkan bahwa, mereka hanya minum ketika merasa haus. Yang lain minum sesuai jadwal yang telah ditetapkan, dan hampir 10 persen mengatakan kepada peneliti bahwa mereka minum sebanyak mungkin.
"Minum sebanyak mungkin merupakan hal yang dapat berbahaya dan bertentangan dengan pedoman terbaru dari International Marathon Medical Directors Association," kata Dr. James winger, seorang profesor kedokteran keluarga dan penulis utama studi tersebut.

Gagal Jantung dan Sirosis
Dalam situasi normal terdapat beberapa reflek atrium-ginjal yang mengatur eksresi Na dan air. Peningkatan tekanan pada atrium akan merangsang pelepasan AVP dan menyebabkan diuresis yang dikenal dengan nama refleks Gauer-Henry. Beroreseptor terdapat pada ventrikel kiri, arteri karotis, app juktaglomerulus. Normalnya, inhibisi dari stimuasi adrenergik terjadi melalui N.vagus dan N.Glosofaringeus melalui baroreseptor arteri pada karotis dan arkus aorta.
Pada gagal jantung, terjadi penurunan pada baroreseptor, sehingga proses inhibisi sentral ini menghilang, sehingga terjadi peningkatan aktivitas adrenergic, sekresi renin, pelepasan AVP. Efek dari aktivasi sistem neurohormonal ini menyebabkan terjadinya vasokonstriksi renal dengan vasodilatasi sistemik
Patogenesis hiponatremia pada sirosis berkaitan dengan hipertensi porta dan adanya dilatasi pada  sirkulasi splancnik. Selanjutnya mekanisme mirip dengan gagal jantung

Adaptasi Otak terhadap Hiponatremi
 Terapi hiponatremia harus selalu berdasarkan patofisiologi kelainan. Saat hiponatremia terjadi dengan cepat (beberapa jam), kemampuan otak untuk beradaptasi menjadi terbatas, sehingga akan menyebabkan edema otak. Sehingga pada pasien dengan hiponatremi (<48 jam) dapat terjadi perubahan status neurologis bahkan pasien dapat meninggal akibat herniasi otak. Pada kondisi hiponatremi kronis, sel otak akan mengeluarkan solute (zat terlarut) dari dalam sitoplasma, untuk menyamakan osmolalitas intraseluler dan plasma. Sehingga pada hiponatremia (>48 jam) kejadian edema otak menjadi minimal.


Osmotic Demyelination Syndrome
Sindrom ini ditandai dengan pola bipasik, dimana pada awalnya pasien akan mengalami perbaikan neurologis dengan koreksi hiponatremi, namun satu atau beberapa hari setelahnya pasien akan mengalami deficit neurologi yang proresif. Hal ini terjadi akibat pengeluaran air dari jaringan otak yang terlalu cepat, padahal sebelumnya otak telah melakukan adaptasi.
Review pada beberapa literature menunjukkan bahwa peningkatan [Na+] serum sebesar 4-6 mmol/L cukup untuk mengatasi manifestasi serius akibat hiponatremia
Pada pasien dengan Hiponatremia Kronis, gejala sequel neurologis lebih disebabkan karena koreksi yang cepat. Semua peneliti sepakat koreksi cepat hiponatremia akan berisiko kerusakan otak iatrogenic. Telah lebih dari 25 tahun disepakati bahwa koreksi natrium >25 mmol/L dalam 48 jam adalah berlebihan. Koreksi 12 mmol/L per hari disepakati pada berbagai penelitian. Pada kondisi hiponatremi kronis, dimana koreksi natrium normal baru bisa tercapai dalam beberapa hari, maka dsepakati koreksi pada hari pertama diberikan dengan proporsi yang lebih besar. Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa peningkatan kada
Dengan demikian sebagian besar peneliti menganjurkan koreksi Na sebesar 6-8 mmol/L per hari. Namun tentu saja target ini tidak bisa tercapai pada semua fasilitas. Jika terjadi koreksi yang berlebih pada hari pertama, maka koreksi untuk hari kedua dapat dihentikan untuk mencegah koreksi yang berlebihan
Komplikasi terapi sering terjadi pada pasien dengan auto koreksi selama terapi. Kondisi ini sering terjadi pada pasien dengan hipovolumia, defisiensi kortisol, atau terapi thiazide. Pada pasien dengan gejala yang berat target terapi harus tercapai dalam 6 jam.



Manajemen Hiponatremi
Semua peneliti sepakat koreksi cepat hiponatremia akan berisiko kerusakan otak iatrogenic Telah lebih dari 25 tahun disepakati bahwa koreksi natrium >25 mmol/L dalam 48 jam adalah berlebihan. Sebagian besar peneliti menganjurkan koreksi Na sebesar 6-8 mmol/L per hari.

Hiponatremi Akut
Gejala : nyeri kepala, mual, muntah, hingga kejang, penurunan kesadaran hingga kematian Goal Untuk gejala klinis yang berat : 100 ml NaCl 3% selama 10 menit, dapat diulang hingga 3 kali Peningkatan 4-6 mmol/L cukup untuk mengatasi klinis hiponatremia akut Untuk gejala sedang : NaCl 3% 0,5-2 ml/Kg/jam.
Sebagian besar pasien hiponatremi dengan kondisi hipovolemia dapat berhasil diterapi dengan pemberian larutan isotonic saline misal NaCl 0,9%. Jadi tidak perlu koreksi khusus dengan NaCl 3%.


Hiponatremi Kronis
Koreksi minimum diberikan dengan target Na 4-8 mmol/L per hari. Untuk resiko tinggi Osmotic Demyelination syndrome, maksimal koreksi 8 mmol/L/hari. Minimal resiko ODS : koreksi maksimal 10-12 mmol/L/hari dan atau 18 mmol/L/hari. Pada pasien dengan gejala yang berat : rule of six “six a day makes sense for safety; so six in six hours for severe symptoms and stop.
Sebagian besar kasus ODS terjadi pada kondisi koreksi yang melebihi 12 mmol/liter per hari.

Manajemen Pada Kondisi Koreksi Berlebihan
Pasien yang mengalami hiponatremia dalam waktu singkat akibat psikosis atau latihan berat biasanya akan mengalami diuresis air, sehingga kadar Na dapat menjadi normal. Pada keadaan ini dapat terjadi autokoreksi 10-12 mmol/L per hari atau 18 mmol/L per 48 jam.
Durasi hiponatremia yang lebih lama, dan kadar serum Na yang lebih rendah memeiliki resiko untuk overkoreksi. Monitor yang lebih harus dikondisikan pada kondisi kadar Na <120 mmol/L, karena resiko untuk terjadinya ODS. Perlu dilakukan pengukuran Na serum tiap 6 jam dan dianjurkan untuk monitor volume urin hingga kadar Na > 125 mmol/L.
Pada pasien dengan resiko tinggi, koreksi Na > 8 mmol/L per hari sebaiknya dihindari. Pada pasien dengan tanpa resiko, koreksi 8-12 mmol/L per hari dapat dipertimbangkan, dengan catatan koreksi pada hari kedua tidak melebihi 18 mmol/L per hari. Sehingga ketika telah tercapai koreksi >8 mmol/L per hari maka koreksi aktif pada hari kedua perlu dihindari.
Perlu hati-hati melakukan koreksi hiponatremia pada pasien-pasien berikut, karena resiko terjadinya Osmotic Demyelination :

Beberapa point penting dalam koreksi hiponatremia :

  • Hiponatremia yang asimtomatik umumnya dapat dipertimbangkan terapi retriksi cairan dan observasi
  • Kejang yang diakibatkan hiponatremia, dapat dikoreksi cepat dengan target peningkatan nilai natrium serum 3-7 mmol per liter.
  • Komplikasi akibat koreksi cepat natrium, umumnya terjadi jika koreksi melebihi 12 mmol/liter per hari.
  • Beberapa ahli merekomendasikan target harian untuk koreksi hiponatremia adalah 8 mmol/liter/hari.
  • Perlu dipertanyakan akan tingkat hiponatremia yang menjadi kontraindikasi untuk pembiusan pada pasien yang harus menjalani operasi emergensi.