Diringkas dari : The American Journal of
Medicine (2013) : Diagnosis, Evaluation
and Treatment of Hyponatremia Expert Panel Recommendations.
Hiponatremia ditandai
dengan kadar [Na+] serum < 135 mmol/L (1 mmol/L = 1 meq/L). 15 –
30% pasien yang dirawat menderita hiponatremia akut atau kronis. Insidensi
meningkat pada pasien dengan gagal jantung, cedera kepala, dan sirosis (27% dan 50%).
Hiponatremia merupakan
salah satu bentuk gangguan yang sering terjadi dalam praktek klinis, sekitar
15-30% pasien yang dirawat mengalami hiponatremia akut atau kronis. Hiponatremia berat (<115 mmol/liter) dapat menimbulkan gangguan neurologis seperti menurunnya kesadaran, kejang bahkan koma. Walaupun
pada sebagian besar kasus hiponatremia tidak bergejala, namun setidaknya terdapat
tiga alasan yang menjadikan kondisi hiponatremia menjadi penting, yaitu :
- Hiponatremia akut (<48 jam) dan derajat berat dapat menyebabkan tingginya angka morbiditas dan mortalitas
- Pada berbagai penyakit yang berbeda; efek samping, termasuk angka mortalitas, lebih tinggi pada pasien hiponatremia
- Koreksi yang cepat terhadap keadaan hiponatremia kronis, dapat menyebabkan deficit neurologis yang bermakna bahkan kematian
Walaupun
umum terjadi, hiponatremia belum sepenuhnya dimengerti. Hal ini disebabkan banyak
kondisi yang mendasari terjadinya hiponatremia, disertai dengan patofisiologi
yang banyak ditambah dengan kondisi klinis dan yang berbeda baik pada kondisi
akut maupun kronis.
Tingginya angka mortalitas berkaitan komplikasi terjadinya
enselopati hiponatremia. Mortalitas pasien gagal jantung dengan hiponatremia
juga meningkat. Hiponatremia pada pasien merupakan prediktor terjadinya sindrom
hepatorenal, enselopati hiponatremia dan kematian. Hiponatremia juga prediktor
outcome yang buruk pada pembedahan. Hiponatremia berhubungan dengan
ketidakseimbangan berjalan.
Peran Vasopressin dalam
Hiponatremia
Sebagian
besar kondis hipontaremi ditandai dengan peningkatan kadar arginine vasopressin
(AVP) dalam plasma. Sekresi AVP dirangsang oleh peningkatan osmolalitas plasma
melalui aktivasi osmoreseptor yang terletak pada anterior hipotalamus dengan
mengurangi volume atau tekanan darah melalui aktivasi osmoreseptor yang
terdapat pada sinus karotis, arkus aorta, atrium dan vena pulmonalis. Ketika
osmolalitas menurun, maka kadar AVP menjadi tidak terdeteksi dan ginjal
mengeksresikan solute free-water
sehingga mencegah menurunnya osmolalitas plasma. Pelepasan AVP yang secara
terus menerus menyebabkan retensi air dan hiponatremia dengan hipovolume, sama
halnya terbentuknya edema pada pasien gagal jantung dan sirosis.
KLASIFIKASI DAN DIAGNOSA
BANDING HIPONATREMIA
Osmolalitas cairan tubuh dipertahankan dalam kadar normal oleh
sekresi AVP dan rasa haus. Osmolalitas normal cairan tubuh adalah 280-295
mOsm/kg. Natrium merupakan anion yang dapat melintas membrane sel, sehingga
hiponatremia identik dengan hipoosmolar. Namun terdapat dua keadaan dimana dua
keadaan ini menjadi tidak senada yaitu :
- 1Pseudohipontaremia : Peningkatan kadar lemak dan protein dalam plasma dapat menyebabkan kadar Na+ serum akan mengurangi secara relative proporsi Na+ secara relative, namun tidak mengubah jumlah total partikel yang terlarut. Sehingga osmolalitas dapat saja normal, namun hiponatremia.
- Isotonik atau hipertonik hiponatremia : terjadi pada kondisi dimana, terdapat peningkatan kadar zat yang terlarut dalam plasma. Hal ini akan menyebabkan perpindahan air dari intracel ke kompartemen ekstrasel, sehingga melarutkan Na+. Hiperglikemia merupakan adalah contoh fenomena yang terbanyak. Hiperglikemia akan merangsang diuresis osmotik, sehingga kondisi menjadi hipertonik.
BEBERAPA KONDISI
YANG MENYEBABKAN HIPONATREMIA
Terapi Diuretik
Obat-obatan diuretik terutama golongan tiazid sering menyebabkan
hiponatremia. Furosemid juga dapat menyebabkan hiponatremia dengan cara
menghambat reabsorbsi natrium pada ascending limb pada loop henle (namun
jarang). Sering terjadi terutama pada pasien gagal jantung.
Cerebral Salt Wasting
Merupakan sindrom yang pasca pendarahan subaraknoid, cedera
kepala, dan operasi bedah syaraf. Terjadi akibat stimulus baroreseptor yang
memicu sekresi AVP. Pada 187 kasus hiponatremia pada bedah syaraf hanya 3,7%
yang mengalami CSW.
Exercised-Associated Hyponatremia (EAH)
Pelari maraton dengan EAH akan mengeluarkan volume urin yang
lebih banyak berbeda dengan, pelari dengan normonatremia yang akan mengeluarkan
volume urin yang lebih pekat. Menurunnya kadar natrium serum setelah olahraga berbanding
dengan peningkatan berat badan. Pada pelari maraton, indeks masa tubuh yang
rendah, lama latihan > 4 jam, konsumsi cairan tiap mil, minum sebanyak
mungkin selama berlari memiliki resiko untuk terjadi EAH. Atlit wanita lebih
berisiko untuk mengalami EAH. Atlit dengan EAH cenderung overhidrasi.
Seperti dilansir The
New York Times, Kamis (6/10/2011), dalam beberapa tahun terakhir, beberapa
pelari maraton meninggal akibat minum terlalu banyak, kondisi yang berbahaya
yang disebut hiponatremia atau keracunan air. Sebuah survei kedua dilakukan oleh para peneliti di Loyola
University Medical Center dan telah diterbitkan dalam British Journal of
Sport Medicine pada bulan Juni 2011. Survei tersebut mencapai kesimpulan
bahwa, hampir setengah dari pelari dapat minum terlalu banyak selama perlombaan
yang mereka ikuti. Hanya setengah dari pelari yang disurvei oleh para peneliti Loyola
melaporkan bahwa, mereka hanya minum ketika merasa haus. Yang lain minum sesuai
jadwal yang telah ditetapkan, dan hampir 10 persen mengatakan kepada peneliti
bahwa mereka minum sebanyak mungkin.
"Minum sebanyak mungkin
merupakan hal yang dapat berbahaya dan bertentangan dengan pedoman terbaru dari
International Marathon Medical Directors Association," kata Dr. James
winger, seorang profesor kedokteran keluarga dan penulis utama studi tersebut.
Gagal Jantung
dan Sirosis
Dalam situasi normal terdapat
beberapa reflek atrium-ginjal yang mengatur eksresi Na dan air. Peningkatan
tekanan pada atrium akan merangsang pelepasan AVP dan menyebabkan diuresis yang
dikenal dengan nama refleks Gauer-Henry. Beroreseptor terdapat pada ventrikel
kiri, arteri karotis, app juktaglomerulus. Normalnya, inhibisi dari stimuasi
adrenergik terjadi melalui N.vagus dan N.Glosofaringeus melalui baroreseptor
arteri pada karotis dan arkus aorta.
Pada
gagal jantung, terjadi penurunan pada baroreseptor, sehingga proses inhibisi
sentral ini menghilang, sehingga terjadi peningkatan aktivitas adrenergic, sekresi
renin, pelepasan AVP. Efek dari aktivasi sistem neurohormonal ini menyebabkan
terjadinya vasokonstriksi renal dengan vasodilatasi sistemik
Patogenesis hiponatremia pada
sirosis berkaitan dengan hipertensi porta dan adanya dilatasi pada sirkulasi splancnik. Selanjutnya mekanisme
mirip dengan gagal jantung
Adaptasi Otak terhadap
Hiponatremi
Terapi hiponatremia harus selalu berdasarkan patofisiologi
kelainan. Saat hiponatremia terjadi dengan cepat (beberapa jam), kemampuan otak
untuk beradaptasi menjadi terbatas, sehingga akan menyebabkan edema otak. Sehingga pada
pasien dengan hiponatremi (<48 jam) dapat terjadi perubahan status
neurologis bahkan pasien dapat meninggal akibat herniasi otak. Pada kondisi
hiponatremi kronis, sel otak akan mengeluarkan solute (zat terlarut) dari dalam
sitoplasma, untuk menyamakan osmolalitas intraseluler dan plasma. Sehingga pada
hiponatremia (>48 jam) kejadian edema otak menjadi minimal.
Osmotic Demyelination Syndrome
Sindrom ini ditandai dengan pola bipasik, dimana pada awalnya
pasien akan mengalami perbaikan neurologis dengan koreksi hiponatremi, namun
satu atau beberapa hari setelahnya pasien akan mengalami deficit neurologi yang
proresif. Hal ini terjadi akibat pengeluaran air dari jaringan otak yang terlalu
cepat, padahal sebelumnya otak telah melakukan adaptasi.
Review pada beberapa
literature menunjukkan bahwa peningkatan [Na+] serum sebesar 4-6
mmol/L cukup untuk mengatasi manifestasi serius akibat hiponatremia
Pada pasien dengan Hiponatremia Kronis, gejala sequel
neurologis lebih disebabkan karena koreksi yang cepat. Semua peneliti sepakat koreksi
cepat hiponatremia akan berisiko kerusakan otak iatrogenic. Telah lebih dari 25
tahun disepakati bahwa koreksi natrium >25 mmol/L dalam 48 jam adalah
berlebihan. Koreksi 12 mmol/L per hari disepakati pada berbagai penelitian. Pada
kondisi hiponatremi kronis, dimana koreksi natrium normal baru bisa tercapai
dalam beberapa hari, maka dsepakati koreksi pada hari pertama diberikan dengan
proporsi yang lebih besar. Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa peningkatan
kada
Dengan demikian sebagian besar peneliti menganjurkan
koreksi Na sebesar 6-8 mmol/L per hari. Namun tentu saja target ini tidak bisa
tercapai pada semua fasilitas. Jika terjadi koreksi yang berlebih pada hari
pertama, maka koreksi untuk hari kedua dapat dihentikan untuk mencegah koreksi
yang berlebihan
Komplikasi terapi sering terjadi pada pasien dengan
auto koreksi selama terapi. Kondisi ini sering terjadi pada pasien dengan
hipovolumia, defisiensi kortisol, atau terapi thiazide. Pada pasien dengan
gejala yang berat target terapi harus tercapai dalam 6 jam.
Manajemen
Hiponatremi
Semua peneliti
sepakat koreksi cepat hiponatremia akan berisiko kerusakan otak iatrogenic Telah lebih dari 25 tahun
disepakati bahwa koreksi natrium >25 mmol/L dalam 48 jam adalah berlebihan. Sebagian besar peneliti menganjurkan
koreksi Na sebesar 6-8 mmol/L per hari.
Hiponatremi Akut
Gejala : nyeri
kepala, mual, muntah, hingga kejang, penurunan kesadaran hingga kematian Goal Untuk
gejala klinis yang berat : 100 ml NaCl 3% selama 10 menit, dapat diulang hingga
3 kali Peningkatan 4-6 mmol/L cukup untuk mengatasi klinis hiponatremia akut Untuk
gejala sedang : NaCl 3% 0,5-2 ml/Kg/jam.
Sebagian besar pasien hiponatremi dengan kondisi hipovolemia dapat berhasil diterapi dengan pemberian larutan isotonic saline misal NaCl 0,9%. Jadi tidak perlu koreksi khusus dengan NaCl 3%.
Sebagian besar pasien hiponatremi dengan kondisi hipovolemia dapat berhasil diterapi dengan pemberian larutan isotonic saline misal NaCl 0,9%. Jadi tidak perlu koreksi khusus dengan NaCl 3%.
Hiponatremi Kronis
Koreksi minimum diberikan dengan target Na 4-8 mmol/L per
hari. Untuk resiko tinggi Osmotic Demyelination syndrome, maksimal koreksi 8
mmol/L/hari. Minimal resiko ODS : koreksi maksimal 10-12 mmol/L/hari dan atau
18 mmol/L/hari. Pada pasien dengan gejala yang berat : rule of six “six a day makes sense for
safety; so six in six hours for severe symptoms and stop.
Sebagian besar kasus ODS terjadi pada kondisi koreksi yang melebihi 12 mmol/liter per hari.
Sebagian besar kasus ODS terjadi pada kondisi koreksi yang melebihi 12 mmol/liter per hari.
Manajemen Pada Kondisi
Koreksi Berlebihan
Pasien yang mengalami
hiponatremia dalam waktu singkat akibat psikosis atau latihan berat biasanya
akan mengalami diuresis air, sehingga kadar Na dapat menjadi normal. Pada
keadaan ini dapat terjadi autokoreksi 10-12 mmol/L per hari atau 18 mmol/L per
48 jam.
Durasi hiponatremia yang lebih lama, dan kadar serum
Na yang lebih rendah memeiliki resiko untuk overkoreksi. Monitor yang lebih
harus dikondisikan pada kondisi kadar Na <120 mmol/L, karena resiko untuk
terjadinya ODS. Perlu dilakukan pengukuran Na serum tiap 6 jam dan dianjurkan
untuk monitor volume urin hingga kadar Na > 125 mmol/L.
Pada
pasien dengan resiko tinggi, koreksi Na > 8 mmol/L per hari sebaiknya
dihindari. Pada pasien dengan tanpa resiko, koreksi 8-12 mmol/L per hari dapat
dipertimbangkan, dengan catatan koreksi pada hari kedua tidak melebihi 18
mmol/L per hari. Sehingga ketika telah tercapai koreksi >8 mmol/L per hari
maka koreksi aktif pada hari kedua perlu dihindari.
Perlu
hati-hati melakukan koreksi hiponatremia pada pasien-pasien berikut, karena
resiko terjadinya Osmotic Demyelination :
Beberapa point penting dalam koreksi hiponatremia :
- Hiponatremia yang asimtomatik umumnya dapat dipertimbangkan terapi retriksi cairan dan observasi
- Kejang yang diakibatkan hiponatremia, dapat dikoreksi cepat dengan target peningkatan nilai natrium serum 3-7 mmol per liter.
- Komplikasi akibat koreksi cepat natrium, umumnya terjadi jika koreksi melebihi 12 mmol/liter per hari.
- Beberapa ahli merekomendasikan target harian untuk koreksi hiponatremia adalah 8 mmol/liter/hari.
- Perlu dipertanyakan akan tingkat hiponatremia yang menjadi kontraindikasi untuk pembiusan pada pasien yang harus menjalani operasi emergensi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar