Trauma Limpa
By. Sudiyatmo, MD
(Dari berbagai sumber)
Fisiologi Limpa
Limpa adalah organ pertahanan utama ketika tubuh terinvasi oleh bakteri
melalui darah dan tubuh belum atau sedikit memiliki anti bodi. Kemampuan ini
akibat adanya mikrosirkulasi yang unik pada limpa. Sirkulasi ini
memungkinkan aliran yang lambat sehingga limpa punya waktu untuk memfagosit
bakteri, sekalipun opsonisasinya buruk. Antigen partikulat dibersihkan
dengan cara yang mirip oleh efek filter ini Dan antigen ini merangsang respon
anti bodi lg M di centrum germinale. Sel darah merah juga dieliminasi dengan
cara yang sama saat melewati limpa.
Pada usia 5-8 bulan, limpa berfungsi sebagai tempat pembentukan sel darah
merah dan sel darah putih. Fungsi ini akan hilang pada masa dewasa. Namun limpa
mempunyai peran penting dalam memproduksi sel darah merah jika hematopoiesis
dalam sumsum tulang mengalami gangguan seperti pada gangguan hematologi. Secara
umum fungsi limpa di bagi menjadi 2 yaitu:
1. Fungsi Filtrasi (Fagositosis)
Lien
berfungsi untuk membuang sel darah merah yang sudah tua atau sel darah merah
yang rusak misalnya sel darah merah yang mengalami gangguan morfologi seperti
pada spherosit dan sicled cells, serta membuang bakteri yang terdapat dalam
sirkulasi. Setiap hari limpa akan membuang sekitar 20 ml sel darah merah yang
sudah tua.selain itu sel-sel yang sudah terikat pada Ig G pada permukaan akan
di buang oleh monosit. Limpa juga akan membuang sel darah putih yang abnormal,
platelet, dan sel-sel debris.
2. Fungsi Imunologi
Limpa termasuk
dalam bagian dari sistem limfiod perifer mengandung limfosit T matur dan
limfosit B. Limfosit T bertanggung jawab terhadap respon cell mediated immune
(imun seluler) dan limfosit B bertanggung jawab terhadap respon humoral. Fungsi
imunologi dari limpa dapat di singkat sebagai berikut:
- Produksi Opsonin
Limpa menghasilkan tufsin dan properdin.
Tufsin mempromosikan Fagositosis. Properdin menginisiasi pengaktifan komplemen
untuk destruksi bakteri dan benda asing yang terperangkap dalam limpa. Limpa
adalah organ lini kedua dalam sistem pertahanan tubuh jika sistem kekebalam
tubuh yang terdapat dalam hati tidak mampu membuang bakteri dalam sirkulasi.
haile, ugs
- Sintesis Antibodi
Immunoglobulin M (Ig M) diproduksi oleh pulpa
putih yang berespon terhadap antigen yang terlarut dalam sirkulasi
- Proteksi terhadap infeksi
Splenektomi akan menyebabkan banyak pasien
yang terpapar infeksi, seperti fulminan sepsis. Mengenai bagaimana mekanismenya sampai saat ini belum diketahui sepenuhnya.
- Tempat Penyimpanan
Pada
dewasa normal sekitar sepertiga (30 % ) dari pletelet akan tersimpan dalam
limpa.
Imaging
Pada Trauma Limpa (Trauma tumpul abdomen)
Computed Tomography Scan (CT-Scan) Abdomen
Meskipun banyak pemeriksaan radiologi yang dapat diusulkan
pada trauma limpa, CT-Scan merupakan modalitas radiografi utama yang sering
digunakan oleh sebagian besar rumah sakit. CT-Scan yang digunakan sebaiknya
bersamaan dengan kontras secara intravena untuk memaksimalkan perbedaan
densitas antara parenkim limpa dan hematoma. Pemeriksaan ini memberikan penilaian limpa dan jaringan sekitar yang
terbaik. Tujuan tambahan dari pemeriksaan ini adalah kemampuannya dalam melihat
semua organ-organ abdomen secara bersamaan yang juga kemungkinan terkena trauma
sekunder.(17)
Keterbatasan
penggunaan pemeriksaan ini sangat sedikit tapi sangat penting. Keterbatasan
yang mengganggu tingkat kepercayaan interpretasi dari CT-scan adalah gerakan
pada waktu pengambilan foto. Sensitifitas pemeriksaan ini menurun jika pasien
tidak dalam keadaan diam pada meja scan. Sedasi yang adekuat sangat penting dilakukan
pada beberapa pasien. Secara keseluruhan sensitivitas dan spesifisitas dari
pemeriksaan ini dalam mendeteksi trauma limpa mendekati 100%, sesuai dengan
beberapa pengalaman para ahli. Beberapa kekurangan dari pemeriksaan ini
biasanya dihasilkan oleh misinterpretasi informasi.(17)
Sistem klasifikasi
derajat trauma limpa telah beberapa kali dibuat, yang pertama kali dibuat oleh
Buntain dan kawan-kawan. Berdasarkan American Association For The Surgery Of
Trauma (1994), klasifikasi derajat dari trauma limpa adalah sebagai berikut
:(17)
- Derajat 1 :
a.
Terdapat hematoma subkapsuler kurang 10% pada area permukaan.
b. Ukuran kapsul kurang dari 1 cm.
- Derajat
2 :
a. Hematoma subkapsuler sekitar 10-50%
pada area permukaan.
b. Diameter
hematoma intraparenkim kurang dari 5 cm.
c. Ukuran
laserasi sekitar 1-3 cm dan tidak mengenai pembuluh darah trabekula.
- Derajat 3 :
a. Hematoma
subkapsuler lebih dari 50% area permukaan atau terdapat rupture subkapsuler
atau hematoma parenkim.
b. Hematoma
intraparenkim lebih dari 5 cm atau lebih.
c. Ukuran
laserasi lebih dari 3 cm dan mengenai pembuluh darah trabekula.
- Derajat 4 : Laserasi pada bagian segmental atau hillum
pembuluh darah dengan devaskularisasi limpa yang lebih dari 25%.
- Derajat 5
: Limpa mengalami kerusakan atau trauma pada hilum pembuluh darah.
Ultrasonografi
(USG) Abdomen
Tujuan utama
penggunaan USG limpa dalam pemeriksaan trauma tumpul abdomen adalah untuk
mengetahui adanya darah dalam kuadran kiri atas.
Darah akut
akan terlihat sebagai gambaran hiperechoic dan dapat anechoic. Untuk membedakan
darah yang terdapat pada subkapsuler dan perisplenik cukup sulit, tetapi
terdapat beberapa perbedaan seperti berikut :
- Gambaran
bulan sabit halus yang memenuhi garis tepi limpa, dipertimbangkan sebagai
perdarahan subkapsuler.
- Darah yang
terdapat pada ekstrakapsuler biasanya berbentuk ireguler.
- Meskipun
efek massa dapat dihasilkan oleh kedua kasus, darah pada subkapsuler lebih
dapat mengubah bentuk limpa.
- Membran
pada perdarahan subkapsuler biasanya sangat tipis dan tidak dapat digambarkan. Oleh karena itu, jika ditemukan gambaran
seperti itu, diagnosis lainnya dapat disingkirkan.
Dalam beberapa
jam, pembekuan darah akan terjadi. Echogenisitas akan meningkat sebagai
thrombus. Hematoma yang matur memperlihatkan echogenisitas yang sama atau lebih
tipis dibandingkan jaringan parenkim dan tanda-tanda ini akan bertahan sekitar
48 jam sampai lisis dimulai. Fase echogenik didapatkan ketika foto dilakukan
pada waktu keadaan akut. Sebagai hasil lisis, hematoma akan kembali ke
echogenisitas cairan, dan keadaan patologi dapat kembali dilihat dengan jelas.
Abnormalitas
parenkim limpa biasanya tidak terlihat (sangat halus). Gambaran laserasi dari
parenkim terlihat sebagai daerah hiperechoic, yang dapat berbentuk ireguler
atau linear. Pada infark limpa akan terlihat gambaran yang sama, tetapi
biasanya hal ini memiliki makna yang lebih baik.
Indikasi untuk
splenektomi
Indikasi
operasi (Modul)
-
ruptur
lien grade III dengan hemodinamik tidak stabil
-
ruptur lien grade IV-V
Indikasi dilakukannya splenektomi dapat dilihat sebagai berikut.
1.
Elektif :
- Kelainan hematologis
- Bagian dari bedah radikal dari abdomen atas
- Kista/tumor limpa
- Penentuan stadium limfoma (jarang dikerjakan)
2.
Darurat:
- Trauma
Pendekatan
terhadap limpa yang ruptur berbeda dari suatu splenektomi elektif. Pasien yang
mengalami trauma limpa harus ditangani pertama kali dengan protokol ATLS
(advanced trauma life support) dengan kontrol jalan napas,pernapasan dan
sirkulasi. Bilas peritoneum atau pemeriksaan radiologis harus digunakan untuk
menilai cedera abdomen sebelum operasi.
Kontraindikasi
open splenektomi
- Tidak ada
kontraindikasi absolute terhadap splenektomy
- Terbatasnya harapan hidup dan pertimbangan resiko
operasi
Teknik Operasi (Sumber : Modul)
SPLENEKTOMI
DAN SPLENORAFI
- Posisi pasien supinasi,
dilakukan anestesi general
- Dilakukan tindakan
aseptik pada seluruh abdomen dan dada bagian bawah
- Lapangan operasi dipersempit dengan linen steril
- Dilakukan insisi dilinea mediana mulai dari proses xiphardern hingga
subrapubis
- Insisi diperdalam hingga mencapai cavum peritaneum
- Darah yang ada dalam cavum peritoneum dihisap keluar sehingga lien tampak
jelas
- Pasang beberapa kasa tebal di postera lateral lien sehingga lien terdorong
ke arah apevator
- Identifikasi hilus lien, lakukan kompresi, sehingga perdarahan dapat
dikontrol
- Dilakukan evaluasi derajat cidera lien
- Bila derajat ruptur grade I, II atau III dapat dilakkan penyakit dengan
benang chronic git 2-0
- Bila derajat ruptur gradr IV
atau lebih, dilakukan pemasangan beberapa klem pada hilus lien. Vasa lienalis,
vasugostrica brevis dan ligamentum gastrosplemik dipotong sedekat mungkin
dengan lien
- Selanjutnya ligamentum
splenokolik, splenorektal, splenophonik diklem dan dipotong. Lien dibebaskan
dari perekatannya dengan jaringan retroperitoneal
- Evaluasi sumber-sumber perdarahan dan lakukan hemostasis secara cermat
- Cavum peritoneum dibersihkan dari sisa-sisa perdarahan denganNael steril
- Luka operasi ditutup lapis demi lapis
Open
splenektomi (Sumber : Atlas Teknik Bedah Umum)
Langkah pertama dan terpenting adalah memotong ligamen
lieno-renalis. Dengan berdiri di sebelah kanan pasien, dan dengan asisten
menarik perlahan pinggir kiri dari luka operasi, jalankan satu tangan pada
limpa ke bawah sampai ligamen lieno-renalis. Dengan lembut, tarik limpa dan
potong ligamen lieno-renalis, mulai dari bagian bawah dan bergerak ke atas
kutup atas dengan menggunakan gunting dengan gagang panjang.
Sekarang geser limpa ke atas dengan tangan kiri dan
perlahan-lahan dorong peritoneum dengan swab pada stick.. Jaringan terus disapu dari belakang
limpa, saat limpa dibawa ke arah luar. Kemudian omentum bisa dilepas dari katup
bawah dengan memotong vasa gastroepiploica sinsitra antara forsep arteri dan
ligasi dengan benang serap. Pada tahap ini, vasa brevia yang berjalan dari
kutup atas limpa ke lambung melalui ligamen gastro-lienalis harus diikat dan
dipotong sendiri-sendiri. Jaga untuk tidak merusak lambung.
Kemudian perhatian dialihkan ke pembuluh limpa. Jalankan beberapa jari kiri ke sekeliling hilus dan palpasi
cabang-cabang arteri lienalis saat arteri tersebut memasuki limpa. Dengan ibu
jari pada kauda pankreas untuk melindunginya, klip dan pisahkan cabang-cabang
ini beserta vena-venanya.Selanjutnya sisa ligamen gastro-lienalis bisa
dipotong. Limpa bisa diangkat dan pembuluh-pembuluh utama diikat rangkap dua,
arteri sebelum vena. Suction drain ditempatkan pada rongga subfrenik dan
dinding abdomen ditutup lapis demi lapis.
Splenektomi darurat
Pada kasus
ruptur limpa, perdarahan massif bisa mengaburkan inspeksi. Prosedur pertama adalah
mengevakuasi bekuan secara manual dan dengan bantuan suction. Jalankan tangan
anda ke hilus untuk mengendalikan perdarahan dengan menekan arteri dan vena
lienalis di antara telunjuk dan ibu jari. Jika perdarahan tidak berhenti,
gunakan klem non-crushing untuk menjepit hilus. Ini memungkinkan penilaian
terhadap tingkat kerusakan limpa. Jika tatalaksana konservatif tidak berhasil,
maka harus dilakukan splenektomi formal.
Komplikasi splenektomi
I. Komplikasi sewaktu operasi
A. Trauma pada usus.
- Usus. Karena
flexura splenika letaknya tertutup dan dekat dengan usus pada lubang
bagian bawah dari limpa, ini memungkinkan usus terluka saat melakukan
operasi.
- Perlukaan pada
gaster dapat terjadi sebagai trauma langsung atau sebagai akibat dari
devascularisasi ketika pembuuh darah pendek gaster dilepas.
B. Perlukaan vaskular adalah komplikasi
yang paling sering pada saat melakukan operasi.
dapat terjadi sewaktu melakukan hilar diseksi atau
penjepitan capsular pada saat dilakukan retraksi limpa.
C. Bukti penelitian dari trauma pancreas
terjadi pada 1%-3% dari splenektomi dengan melihat tigkat enzim amylase. Gejala
yang paling sering muncul adalah hiperamilase ringan, tetapi tidak berkembang
menjadi pankreatitis fistula pankeas, dan pengumpulan cairan dipankreas.
D. Trauma pada diafragma. Telah
digambarkan selama melakukan pada lubang superior tidak menimbulkan kesan
langsung jika diperbaiki. Pada laparoskopi splenektomi, mungkin lebih sulit
untuk melihat luka yang ada di pneomoperitoneum. Ruang pleura meruapakan hal
utama dan harus berada dalam tekanan ventilasi positf untuk mengurangi
terjadinya pneumotoraks.
II. Komplikasi setelah operasi
1. Koplikasi pulmonal hampir terjadi pada
10% pasien setelah dilakukan open splenektomi, termasuk didalamnya atelektasis,
pneumonia dan efusi pleura.
2. Abses subprenika terjadi pada 2-3%
pasien setelah dilakukan open splenektomi. Tetapi ini sangat jarang terjadi
pada laparoskopi splenektomi (0,7%). Terapi biasanya dengan memasang drain di
bawak kulit dan pemkaian antibiotic intravena.
3. Akibat luka seperti hematoma, seroma
dan infeksi pada luka yang sering terjadi setelah dilakukan open splenektomi
adanya gangguan darah pada 4-5% pasien. Komplikasi akibat luka pada laparoskpoi
splenektomi biasanya lebih sedikit (1,5% pasien).
4. Komplikasi tromsbositosis dan dan
trombotik. Dapat terjadi setelah dilakukan laparoskopt splenektomi.
5. Ileus dapat terjadi
setelah dilakukan open splenektomi, juga pada berbagai jenis operas
intra-abdominal lainnya.
6. Infeksi pasca splenektomi
(Overwhelming Post Splenektomy Infection) adalah komplikasi yang lambat
terjadi pada pasien splenektomi dan bisa terjadi kapan saja selama hidupnya.
Pasien akan merasakan flu ringan yang tidak spesifik, dan sangat cepat berubah
menjadi sepsis yang mengancam, koagulopati konsumtif, bekateremia, dan pada
akhirnya dapat meninggal pada 12-48 jam pada individu yang tak mempunyai limpa
lagi atau limpanya sudah kecil. Kasus ini sering ditemukan pada waktu 2 tahun
setelah splenektomi.
7. Splenosis, terlihat adanya jaringan
limpa dalam abdomen yang biasanya terjadi pada setelah trauma limpa.
8. Pancreatitis dan atelectasis.
Usaha pencegahan akibat infeksi yang bisa terjadi akibat splenektomi.
Infeksi pasca splenektomi biasanya sering
disebabkan oleh bakteri tak berkapsul yaitu Streptococcus pneumoniae,
Haemophillus influenzae, dan Neisseria meningitides. Patogen lainnya seperti
Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa, Canocytophagia canimorsus, group B
streptococci, enterococcus spp, dan protozoa seperti plasmodium.
Infeksi Post-splenektomi pertama kali dituliskan
oleh King dan Schumaker 1952. Insiden ini diperkirakan antara 0,18-0,42%
pertahun, dengan resiko seumur hidup 5%. Dari 78 studi yang telah dilakukam
oleh Bisharat dkk, tahun 1966-1996. Terdapat 28 data yang berhubuingan dengan
insiden, angka kehidupan dan kematian dan dampak dari infeksi pada usia yang
berbeda-beda. Dari 19680 pasien yang telah dilakukan splenektomi, 3,2%
berkembangmenajdi infeksi yang infasif, dan 1,4% meninggal. Waktu antara
terjadinya splenektomi dan infeksi rata-rata antara 22,6 bulan. Insiden infeksi
tertinggi terjadi pada pasien dengan tallasemia mayor (8,2%) dan sikel sel
anemia (7,3%) dibanding dengan pasien yang mengalami idiopatik trombositopenia
(2,1%), dan pada anak dengan tallasemia mayor (11,6%), sikel sel anemia (8,9%)
dibandingkan pada pasien dewasa dengan penyakit yang sama (7,4% dan 6,4%).
Infeksi dari post splenektomi dapat dicegah dengan
memberikan pendekatan pada pasien dan imunisasi rutin, pemberian antibiotic
profilaksis, edukasi dan penanganan infeksi yang segera.
PERAWATAN PASCA SPLENEKTOMY
Banyak pasien yang tidak
mengalami komplikasi post splenektomy. Pada umumnya jumlah trombosit
meningkat sangat tajam sampai 2 juta per mm3 dan tidak diperlukan terapi
khusus selain hidrasi yang cukup. Jika diperlukan dapat diberikan obat pencegah
agregasi platelet seperti asam salisilat, dipridamol, dekstran atau
jika pasien resiko tinggi dipakai heparin (trunkey, 1990; Schwartz,
1997). Penulis lain mengatakan bahwa jika jumlah trombosit lebih dari 1 juta
mm3 sebaiknya deberikan aspirin dosis rendah atau heparin (Danne, 1999; Irving,
1996). Pasien yang mengalami efusi dan kolapnya lobus bawah paru kiri biasanya
memberikan respon yang baik dengan fisioterapi.
Peningkatan insidensi
sepsis umumnya disebabkan oleh H influenza, pnemokokkus, meningikokkus,
Stapilokokkus dan H influenza pada anak perlu diberikan antibiotika propilaksi
melawan H influenza sampai dewasa (Schwartz, 1997). Amoksilin 250 mg perhari
atau penoksimetilpenisilin 250 mg 2 kali sehari dapat diberikan, walaupun belum
ada kesepakatan apakah obat ini akan diberikan selama hidup atau 5 tahun saja.
Waktu pemberian vaksinasi masih kontroversi. Beberapa penulis merekomendasikan
anatara 3 sampai 4 minggu pasca operasi. Dan setelah 5 tahun dilakukan
vaksinasi ulang pnemovax (Boone and Peitzman, 1998).
Autotransplantasi Limpa
Autotransplantasi masih
merupakan kontroversi pada penanganan trauma limpa. Sebaiknya autoransplantasi
dilakukan, karena ada beberapa bukti fungsi sebagian limpa dapat kembali yaitu sebagai
penyaring sel darah merah. Produksi opsonin kemungkinan sedikit sekali
atau bahkan tidak ada lagi, tetapi hal ini masih diperdebatkan.
Terdapat juga bukti bahwa penanaman
jaringan limpa secara luas pada peritoneum atau SPLENOSIS tidak melindungi
pasien dari overwhelming infeksi Splenosis dapat
terjadi diseluruh abdomen dan paling sering ditemukan secara kebetulan saat
laparatomy oleh sebab lain. Splenosis berbeda dengan limpa asesoria secara
histologis yakni kehilangan elastisitas dan serabut otot polos pada kapsulnya.
Beberapa fakta menyatakan bahwa limpa hasil implan tidak dapat terjadi bila
tidak tersedia massa
jaringan yang baik dan adanya vaskularisasi yang sangat berbeda dari sirkulasi
limpa yang normal (Schwartz).
Reimplantasi merupakan
aurotransplantasi jaringan limpa yang dilakukan setelah splenektomy. Caranya
ialah dengan membungkus irisan parenkim limpa dengan slices 1-mm (Boone and
Peitzman, 1998) diameter ± 0,5 cm (Schwartz, 1997) dengan omentum atau
menanamnya di pinggang belakang peritoneum (Karnadiharja, 1997).
Viabilitas dari hasil implantasi ditunjukkan dengan kembalinya tuftsin, opsonin
komplemen, dan lg M ke level normal (Schwartz, 1997), radionuclide
scan 3-4 bulan post operasi untuk melihat fungsi, ukuran , dan lokasinya (
Skandalakis, 1995) Fakta menunjukkan bahwa autotransplantasi jaringan
limpa pada omemtum pada akhirnya fungsi limpa secara imunologis akan baik.
Sebuah tinjauan tentang masalah ini manyimpulkan bahwa studi pada manusia dan
binatang yang dilakukan autotransplantasi limpa relatif aman dan mudah
dilakukan yang memulihkan kelevel dasar beberapa parameter hematologi dan
imunologi. Beberapa aspek dari fungsi reticuloendotelial juga membaik. Studi
radiosotop menunjukan pada banyak pasien autotransplantasi pada omentum majus
menghasilkan jaringan yang tumbuh secara bermakna.