By:
Sudiyatmo, S.ked on: Tue 18 of Sep, 2007
Pejabat
rumah sakit (RS) pemerintah Singapura mengatakan lebih dari seratus ribu warga
Indonesia berobat ke Singapura setiap tahunnya. Selain Singapura pasien
Indonesia juga mendominasi di sejumlah RS di Malaysia dan Ghuang Zou Cina. Data
tahun 2006 menyebutkan jumlah devisa negara yang tersedot ke RS luar negeri
mencapai US$600 juta setiap tahunnya. General Manager National Healthcare Group
International Business Development Unit (NHG IBDU) Kamaljeet Singh Gill
mengungkapkan, sebanyak 50% pasien internasional yang berobat ke Singapura
adalah warga Indonesia. Berdasarkan data yang dihimpun, setiap tahunnya,
wisatawan medis atau medical tourist yang berobat ke Singapura mencapai 200.000
per tahun. Artinya ada sekitar 100.000 warga Indonesia berobat ke Singapura
tiap tahun, atau sekitar 273 pasien setiap harinya.
Data
lainnya menyebutkan jumlah pasien Indonesia yang berobat di RS Lam Wah Ee
Malaysia mencapai 12.000 per tahun atau sekitar 32 pasien per hari. Sementara,
di RS Adventist Malaysia jumlah pasien Indonesia yang terjaring mencapai 14.000
per tahun atau sekitar 38 pasien per hari. Sementara jumlah warga Sumatera
Utara dan sekitarnya yang berobat ke Penang, Malaysia, mencapai seribu orang
setiap bulannya. Bukankah ini jumlah yang tidak sedikit untuk harga sebuah
pelayanan.
Mengapa
dokter-dokter anak bangsa ini seperti tidak dipercaya oleh masyarakatnya
sendiri ?. Padahal kemampuan medis dokter-dokter kita tidak kalah dibandingkan
dengan dokter-dokter di luar negeri.
Hubungan
Dokter-Pasien yang Mengecewakan
Salah
satu faktor utama yang menyebabkan peningkatan kebiasaan berobat ke luar negeri
adalah hubungan dan cara berkomunikasi dokter-pasien di negara kita yang sangat
mengecewakan. Banyak opini menyebutkan, cara berkomunikasi dokter-pasien di
Indonesia kalah jauh dibandingkan dokter-dokter di luar negeri. Padahal pasien
dan dokter di negara kita berbahasa sama, bahasa Indonesia. Bukankah dengan
persamaan bahasa lebih memungkinkan bagi seseorang untuk berkomunikasi,
menunjukkan empati, memberi motivasi dan menyenangkan hati lawan bicaranya.
Beberapa pasien mengungkapkan berobat di Singapura sangat puas, karena dapat
berkonsultasi dengan dokter hingga 1 jam. Di Indonesia, seorang pasien bisa
masuk ruang praktek dokter 15 menit saja sudah menjadi hal yang langka.
Sebagian besar hubungan dokter-pasien pun hanya bersifat satu arah.
Seorang
pasien pernah bercerita tentang pengobatan yang ia lakukan di Indonesia dan di
Singapura. Oleh dokternya disebutkan bahwa ia menderita Diabetes. Dokternya
menyampaikan bahwa penyakit ini tidak akan sembuh, seumur hidup dia akan
tergantung pada obat dan semua dietnya harus diatur. Begitu pun ketika ia
datang untuk kontrol, dokternya berkata tidak ramah karena ia tidak mengikuti
apa yang telah dianjurkan. Ketika memeriksakan dirinya ke Singapura, dokter
Singapura juga menyatakan dia terkena Diabetes. Tapi bedanya si dokter
Singapura tersebut sambil tersenyum dan memberi motivasi padanya, sehingga
hatinya pun menjadi tenang. Lantas dokter tersebut melanjutkan bahwa mengidap
penyakit diabetes bukan berarti hidup menderita dan berakhir tragis. Yang perlu
dilakukannya hanya mengatur diet dan memeriksakan diri secara teratur. Tidak
berhenti sampai di situ, si dokter juga menyarankan dan mengantarkan sang
pasien berkonsultasi dengan ahli gizi yang sudah menyiapkan daftar menu
sehari-hari, lengkap dengan jumlah kalori setiap jenis masakan bahkan untuk
makanan khas Indonesia. Bayangkan begitu hebatnya kesadaran untuk memberikan
value-added services disana.
Masih
ingat kisah sedih yang menimpa almarhumah Sukma Ayu ?. H.Misbach Joesa Biran,
ayah almarhumah, dalam sebuah tayangan infotainment, mengaku sedih karena tak
pernah sedikit pun menerima senyum dari para dokter. Padahal hampir enam bulan
anaknya dirawat di rumah sakit tersebut. Walaupun kebenaran pernyataan tersebut
masih perlu dibuktikan, jika kita mau merujuk pada kurikulum pendidikan dokter,
bagian mana yang mengatur seorang dokter untuk senyum pada pasien atau
keluarganya?. Atau bagian mana dari pendidikan dokter yang secara khusus
mengajarkan cara kita berhubungan baik dengan pasien ?. Kalau kita mau jujur,
maka mungkin ada yang menjawab tidak ada !. Kalaupun ada sangat sedikit sekali
disinggung hal-hal seperti itu, pelajaran tersebut pun perlahan-lahan terkikis
dan terlupakan oleh proses pendidikan dokter yang cendeung lama dan
menghabiskan banyak uang.
Berdasarkan
data Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) DKI Jakarta, terdapat 99 kasus
pengaduan terhadap profesi dokter dari tahun 1998-2006 (8 tahun). Menurut MKEK
hal yang paling sering menjadi pokok sengketa adalah kelemahan komunikasi
antara dokter dengan pasien atau antara rumah sakit dengan pasien. Kelemahan
komunikasi tersebut dalam bentuk komunikasi sehari-hari yang diharapkan dapat
mempererat hubungan antar individu maupun dalam bentuk pemberian informasi
sebelum dilakukannya tindakan dan sesudah terjadinya risiko atau komplikasi.
Kendala
yang kerap timbul dalam komunikasi antara pasien dan dokter antara lain adalah
keterbatasan waktu untuk bertemu atau pertemuan yang tidak efektif karena yang
terjadi adalah komunikasi satu arah. Komunikasi satu arah adalah bila dokter
merasa keluarga sudah paham akan keterangan yang diberikan padahal mereka
sebenarnya tidak mengerti apa yang disampaikan. Padahal jika seorang dokter
sudah berhadapan dengan pasien maka sudah seharusnya ia menyediakan waktu untuk
pasiennya.
Penting
untuk diingat bahwa hubungan dan komunikasi yang tidak berjalan dengan baik
akan membuat pasien merasa sungkan dan enggan untuk bertanya pada dokter,
pasien hanya mengikuti saja apa yang disampaikan sang dokter. Akibatnya
kerjasama dokter-pasien dalam menentukan arah pengobatan tidak berjalan. Kita
juga harus ingat bahwa memilih menjadi dokter berarti harus siap untuk belajar
dan mengajar seumur hidup. Bukankah salah satu konsep World Health Organization
(Organisasi Kesehatan Dunia/WHO) tentang kriteria seorang dokter yang baik
adalah “Comunicator”, yang berarti mampu mempromosikan gaya hidup sehat melalui
penjelasan dan advokasi efektif.
Profesionalisme
Seorang Dokter
Kalau
kita berbicara tentang profesionalisme seorang dokter ketika berhubungan dengan
pasien, maka tidak ada kriteria yang jelas tentang hal itu. Kendatipun
demikian, untuk menjadi seorang dokter yang baik dan profesional minimal dalam
dirinya harus terdapat beberapa hal dibawah ini;
Terbuka :
dokter yang profesional adalah sosok yang terbuka pada pasiennya. Dengan kata
lain, dia mau memberikan berbagai informasi yang dibutuhkan seorang pasien,
baik diminta ataupun tidak. Dokter juga mampu memberikan penjelasan dengan baik
dan benar. Tidak ada keterangan yang sengaja ditutup-tutupi sehingga pasien
tahu pasti apa masalah yang dialaminya.
Bersedia
mendengarkan pasien : dokter juga hendaknya mau mendengarkan keluhan dan
menanggapi pertanyaan pasiennya. Dengan kata lain, komunikasi yang terjalin
tidak berlangsung satu arah atau sepihak saja. Dokter tidak hanya memberikan
instruksi, tapi alangkah baiknya menampung dan memberikan solusi bagi
permasalahan yang dihadapi pasien.
Punya
waktu cukup : agar dapat memberikan informasi yang lengkap dan bisa
mendengarkan keluhan pasiennya, tentunya dokter butuh waktu yang cukup. Memang
persoalan waktu adalah sesuatu yang relatif. Artinya, ada yang merasa perlu
punya waktu panjang, tapi ada juga yang merasa cukup beberapa menit saja untuk
melayani pasien.
Menjadi
seorang dokter juga harus selalu bersedia menjelaskan pada pasien dan
keluarganya bagaimana kondisinya, mendiskusikan bagaimana strategi
pengobatannya, membantu pasien mengambil keputusan karena hak memilih
pengobatan ada di tangan pasien. Tentunya dengan dokter memberikan informasi
yang sejelas-jelasnya tentang untung-rugi sebuah pengobatan dengan baik akan
mengurangi angka kejadian tidak puasnya pasien pada dokter. Namun kenyataannya
hari ini, prosedur tersebut menjadi sangat langka dan amat sulit untuk ditemui
dalam praktek dokter dinegeri ini.
Hari ini,
low-trust society sedang menghinggapi kita. Pendulum seolah-olah bergeser
balik. Kalau dulu kita menganggap dokter adalah "dewa", tetapi
sekarang seolah-olah dokter "harus selalu diawasi, bila perlu
dicurigai". Sebaliknya, kalangan medis dihinggapi kekhawatiran soal
tuntutan malpraktik, sehingga cenderung menutup diri dan mempersiapkan proteksi
terhadap segala kemungkinan. Keadaan seperti ini tentu tidak akan terjadi
ketika setiap dokter menyadari akan posisi dirinya di hadapan pasien,
menyediakan waktu yang cukup untuk pasiennya, berkomunikasi dengan baik dan
sadar betapa pasien sangat “bergantung” padanya.
Mahalnya
Harga Sebuah Pendidikan Kedokteran
Hanya
menyalahkan dokter kita sebagai biang keladi buruknya layanan kesehatan
tentunya tidak akan menyelesaikan masalah. Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun
2006 memperlihatkan bahwa ratio dokter : pasien kita adalah yang terendah dari
8 negara Asia Tenggara. 18 dokter untuk 100.000 penduduk. Jangan heran kalau
dokter harus kerja rodi, terutama dokter-dokter di daerah perkotaan. Dokter
kesulitan untuk dapat meluangkan waktu bersama pasiennya lebih lama. Belum lagi
dengan penghasilan dokter yang begitu rendah. Untuk dokter spesialis pun tidak
selamanya bagus. Padahal biaya untuk sekolah spesialis sangat mahal. Jangan
heran pula kalau terkadang seorang dokter spesialis terpaksa bekerja dari satu
rumah sakit ke rumah sakit lain untuk kejar 'setoran'. Jika demikian keadaannya
sangat sulit untuk mengharap dokter bisa mencurahkan perhatian sepenuhnya
terhadap keluhan pasiennya.
Kita
katakan tidak semua dokter dalam prakteknya menganut prinsip kejar ‘setoran’.
Masih banyak dokter yang berkerja dengan penuh pengabdian dan prinsip menolong
sesama. Tapi jika ada yang berusaha untuk mengejar penghasilan
sebanyak-banyaknya dengan tidak memperhatikan waktu bagi pasien, maka mungkin
tingginya biaya sekolah kedokteran menjadi salah satu faktornya. Karena bagi
sebagian orang, biaya pendidikan yang tinggi dapat mempengaruhi orientasi saat
berkerja, termasuk mungkin bagi sebagian dokter-dokter kita.
Sejatinya,
sebagian besar dokter sekarang bukan produk dari pendidikan mahal. Sebab,
mayoritas dokter yang ada saat ini adalah alumni Fakultas Kedokteran (FK)
negeri yang biaya pendidikannya relatif murah dan sama saja dengan
program-program studi nonkedokteran, hanya sebagian kecil yang berasal dari
FK-FK swasta. Tetapi paradigma tersebut, saat ini mulai mengalami pergeseran,
terutama sejak otonomi kampus diberlakukan mulai 2002-2003. Kampus dibolehkan
menerima mahasiswa baik S1, S2 dan S3 secara mandiri maupun melalui kerjasama
dengan suatu instansi. Mulailah terjadi persaingan sumbangan resmi untuk
kampus, mulai jutaan sampai ratusan juta. Lebih mencolok lagi
universitas-universitas favorit, sehingga sering kita dengar ada orangtua
mahasiswa S1 kedokteran berani menyumbang ratusan juta rupiah agar anaknya
diterima. Termasuk pula untuk Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Bagi
sebagian universitas, untuk memasuki PPDS di institusinya diharuskan menyumbang
sejumlah uang pangkal. Belum lagi biaya semester yang semakin mahal.
Kita
harus berhati-hati, tingginya biaya pendidikan kedokteran dapat menjadi
bumerang pada masa yang akan datang. Para lulusan profesi kedokteran secara
psikologis akan berpikir kapan bisa mengembalikan modal sumbangan yang telah ia
berikan ketika awal kuliah dan selama pendidikan. Begitu juga dokter spesialis
yang baru lulus. Kelak bagi kebanyakan dokter waktu dalam sehari harus
benar-benar dimanfaatkan untuk mengembalikan modal yang telah diinvestasikan
pada saat sekolah kedokteran. Tentu kita tidak ingin menambah jumlah
‘dokter-dokter komersil’ di republik ini. Hal ini sacara tidak langsung dapat
berdampak ketika menghadapi pasien, komunikasi seolah-olah menjadi hampa ketika
orientasinya hanya uang semata. Hingga pada akhirnya berkuranglah kualitas hubungan
antara dokter dan pasiennya.
Beberapa
Saran
Melihat
kondisi yang demikian kompleks bagi permasalahan dunia kedokteran kita
sepertinya sulit untuk dipecahkan. Tetapi hal ini bukan alasan untuk dapat
meningkatkan kualitas dunia kedokteran di Indonesia. Perlu dipikirkan
pendidikan etika dan moral yang lebih mendalam pada kurikulum pendidikan
kedokteran. Dalam diri calon dokter harus benar-benar tertanam bahwa hubungan
komunikasi dengan pasien adalah hal yang mutlak harus diperhatikan. Mengingat
profesi dokter adalah hubungan yang lebih bersifat sosial daripada bersifat
ekonomis. Paradigma yang ada di masyarakat bahwa dokter adalah sosok penyembuh
yang tidak boleh dikritisi sikap dan prilakunya dalam mengobati harus
perlahan-lahan diubah.
Bagi para
dokter yang saat ini telah memiliki lahan yang tetap, lancar dan baik, hubungan
komunikasi antara dokter dan pasien harus senantiasa diperhatikan dan dapat
menjadi bagian dari solusi dalam mengatasi masalah malpraktik. Karena dalam hal
sengketa medik yang sering terjadi adalah adanya kesenjangan persepsi antara
dokter dan pasien. Pasien dan keluarga merasa kurang puas dengan pengobatan
yang dilakukan, sedangkan dokter dan rumah sakit merasa sudah melakukan
pengobatan secara optimal.
Untuk
mengurangi kader ‘dokter komersil’ yang pada akhirnya masyarakat juga yang
menjadi korban, alangkah baiknya jika Departemen Kesehatan (Depkes) sebagai
regulator bidang kesehatan, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) sebagai
regulator pendidikan dokter, dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai
organisasi para dokter, untuk duduk dalam satu meja membicarakan tentang
pendidikan dokter yang mahal saat ini. Diadakan perbincangan untuk meregulasi
sistem penerimaan dan pendidikan dokter dan dokter spesialis. Ada pengaturan
yang tegas untuk batasan minimal dan maksimal sumbangan awal pendidikan dan SPP
per semester, sehingga tidak ada kesan sekehendak hati Fakultas Kedokteran yang
bersangkutan. Ada aturan yang jelas bahwa besarnya sumbangan bukan penentu
utama bagi diterimanya seorang dokter atau dokter spesialis, faktor utamanya
adalah akademik yang bersangkutan. Hal ini adalah untuk tetap menjaga mutu
lulusan dokter dan dokter spesialis agar tetap bagus. Mengutamakan calon
mahasiswa dari daerah yang masih sedikit dokter, akan membantu pemerataan
dokter dan dokter spesialis di daerah, sehingga tidak ada lagi kesan dokter
‘kerja rodi’ di wilayah perkotaan.
Tampaknya
hal yang ideal ini dalam waktu dekat sulit diwujudkan. Tetapi bila ada kemauan
maka akan tercipta dunia kedokteran Indonesia yang berkualitas dan dipercaya
oleh masyarakatnya. Dokter masa depan mengutamakan profesionalitas, beretika
dan berkomunikasi baik dengan pasiennya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar