Oleh :
Sudiyatmo, MD
Ditulis
saat menjalani stase PPDS Bedah di RSUD Suliki (Februari 2013)
References
:
·
Emergencies
in Urology, editor Markus Hohenfellner, Richard A.Santucci
·
Urological
Emergencies in Clinical Practice, Hashim Hashim et al
·
Campbell-Walsh
Urology, 9th ed.
PENDAHULUAN
Trauma
ginjal terjadi sekitar 1%-5% dari total seluruh trauma. Trauma ginjal dapat
menjadi problem akut yang mengancam nyawa, namun sebagian besar trauma ginjal
bersifat ringan dan dapat dirawat secara konservatif. Perkembangan dalam
pencitraan dan derajat trauma selama 20 tahun terakhir telah mengurangi angka
intervensi bedah pada kasus-kasus trauma ginjal.
MEKANISME TRAUMA
Mekanisme
trauma dapat berupa trauma tumpul atau trauma tembus (penetrating injury). Pada daerah pedesaan persentase trauma tumpul
mencapai 90%-95%. Sementara di daerah perkotaan, trauma tembus meningkat hingga
18%.
Trauma
tumpul biasanya terjadi pada kasus-kasus kecelakaan lalu lintas, terjatuh dari
ketinggian, cedera saat olahraga atau berkelahi. Sehingga informmasi yang
penting untuk diketahui yang berkenaan dengan riwayat trauma adalah besarnya
prose decelerasi yang terjadi. Decelerasi yang sangat cepat dapat menyebabkan
kerusakan pembuluh darah, trombosis arteri renalis, peregangan pembuluh darah
vena, atau avulsi pedicle ginjal.
Laserasi
ginjal yang disertai dengan trauma pada vaskularisasi, hanya terjadi sekitar
10%-15% dari seluruh trauma tumpul ginjal. Luka tembak dan luka tusuk merupakan
penyebab utama trauma tembus ginjal. Pada luka tembak, hal terpenting adalah
mengetahui jenis senjata dan peluru. Trauma tembus sendiri dapat mengenai organ
retroperitoneal bahkan hingga mencapai peritoneum. Sehingga memungkinkan untuk
menciptakan kondisi yang tidak steril. Adanya perdarahan dan kebocoran urin
pada trauma tembus ginjal akan menciptakan lingkungan yang ideal bagi
pertumbuhan bakteri. Sehingga trauma tembus ginjal cenderung lebih berat dan
sukar untuk diprediksi dibandingkan trauma tumpul ginjal.
KLASIFIKASI TRAUMA GINJAL
Klasifikasi
trauma ginjal membantu dalam penyamaan persepsi (standarisasi) akan berbagai
jenis pasien, pilihan terapi dan hasil yang diharapkan. Total terdapat 26
klasifikasi trauma ginjal telah dipublikasikan selama 50 tahun terakhir. Namun
American Association for the Surgery of Trauma (AAST) telah mengembangkan
penklasifikasian trauma ginjal yang diterima luas hingga saar ini. Trauma
ginjal diklasifikasikan dari derajat I-V. Sebagian besar penelitian klinis dan
penerapan dilapangan telah mengadopsi pengklasifikasian ini.
DIAGNOSIS
: INITIAL EMERGENCY ASSESSMENT
Penilaian
awal pasien trauma harus meliputi jalan napas, mengontrol pendarahan yang
tampak, resusistasi syok jika diperlukan. Pada kasus multiple trauma
resusistasi harus segera dilakukan. Pada banyak kasus pemeriksaan fisik
dilakukan secara simultan dengan stabilisasi pasien. Dada, perut dan pinggang
tidak boleh luput dari pemeriksaan. Ketika trauma pada ginjal dicurigai maka
diperluka evaluasi lebih lanjut.
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Indikator
yang memungkinkan untuk terjadinya trauma ginjal meliputi mekanisme deselerasi
yang cepat seperti pada; jatuh dari ketinggian atau kecelakaan bermotor dengan
kecepatan tinggi, serta trauma langsung pada regio flank. Pada kasus trauma tembus, informasi yang diperlukan meliputi
jenis benda tajam atau kaliber peluru pada kasus luka tembak.
Riwayat
penyakit sebelumnya juga perlu digali, adakah kemungkinan adanya disfungsi
organ sebelum terjadinya trauma. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa adanya
riwayat penyakit ginjal sebelumnya dapat memperberat trauma minor.
Hidronefrosis, batu ginjal, kista maupun tumor telah dilaporkan dapat menimbulkan
komplikasi yang lebih berat.
Pemeriksaan
fisik merupakan dasar pemeriksaan pada setiap pasien trauma. Stabilitas hemodinamik
merupakan kriteria utama dalam penatalaksanaan semua trauma ginjal. Shok dapat
diartikan sebagai tekanan sistole yang <90 mmHg pada saat pasien dievaluasi.
Vital sign harus dicatat untuk mengevaluasi pasien.
Pada
pemeriksaan fisik dinilai adanya trauma tumpul atau tembus pada regio flank, lower thorax dan upper abdomen. Pada luka tembus,
panjangnya luka tidak secara kurat mengambarkan dalamnya penetrasi. Penemuan
berupa; hematuri, jejas dan nyeri pada pinggang, patah tulang iga bawah, atau
distensi abdomen dapat dicurigai adanya trauma pada ginjal.
Pemeriksaan Laboratorium Urinalisa,
darah rutin dan kreatinin merupakan pemeriksaan laboratorium yang penting. Urinalisa
merupakan pemeriksaan dasar untuk mengetahui adanya cedera pada ginjal.
Hematuria mikroskopis pada pasien trauma dapat didefenisikan sebagai adanya
>5 sel darah merah per-lapang pandang besar, sementara pada gross hematuria
telah dapat dilihat langsung pada urin.
Hematuria merupaka poin disgnostik penting
untuk trauma ginjal. Namun tidak cukup sensitif dan spesifik untuk
membedakan apakah suatu trauma minor ataukah mayor. Perlu diingat beratnya hematuria tidak berkorelasi lurus dengan
beratnya trauma ginjal. Bahkan untuk trauma ginjal yang berat, seperti;
robeknya ureteropelvic junction, trauma pedikel ginjal, atau trombosis arteri
dapat tampil tanpa disertai dengan hematuria.
Hematokrit
serial merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk mengevaluasi pasien trauma.
Penurunan hematokrit dan kebutuhan akan transfusi darah merupakan tanda kehilangan
darah yang banyak, dan respon terhadap resusistasi akan menjadi pertimbangan
dalam pengambillan keputusan. Peningkatan kreatinin dapat sebagai tanda
patologis pada ginjal.
Pencitraan : Kriteria Penilaian Radiologis
Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan hematuria mikroskopis tanpa disertai
shok pasca trauma tumpul ginjal biasanya merupakan tanda tidak beratnya trauma
pada ginjal. Oleh karena itu pemeriksaan radiologis perlu dipertimbangkan
indikasinya, mengingat rasa tidak nyaman yang timbul pada pasien, reaksi alergi
terhadap kontras, paparan radiasi, dan pemeriksaan radiologis yang berlebihan.
Indikasi
untuk dilakukannya pemeriksaan radiologis pada trauma ginjal antara lain adalah
gross hematuri, hematuri mikroskopik yang disertai shok, atau adanya trauma
multi organ. Pada luka tembus, setiap kecurigaan adanya luka yang mengarah pada
ginjal maka perlu dilakukan pemeriksaan radiologis tanpa memandang derajat
hematuri.
Ultrasonografi Abdomen USG merupakan
modalitas pencitraan yang populer untuk penilaian awal suatu trauma abdomen.
USG dapat dilakukan dengan cepat, tidak invasif, biaya murah, dan dapat menilai
adannya cairan bebas tanpa paparan radiasi atau zat kontras. Namun penggunaan
USG pada trauma ginjal cukup banyak dipertanyakan, disamping pemakainaya sangat
bergantung pada operator.
USG
dapat mendeteksi adanya laserasi pada ginjal, namun tidak mampu secara tepat
memastikan seberapa dalam dan luas laserasi yang terjadi, dan tidak mampu
menampilkan data yang mendukung untuk menilai ekskresi ginjal dan ada tidaknya
kebocoran urin. USG doppler dapat digunakan untuk menilai aliran darah yang
menuju ke ginjal. Pada USG dengan kontras, pencitraan dengan baik dapat dilihat
pada posisi pasien supine atau dekubitus kontralateral.
Karena
penggunaanya yang relatif cepat, USG dapat digunakan pada saat penilaian awal
trauma. Pada saat evaluasi, USG lebih sensitif dan spesifik dibandingkan IVP
standar untuk kasus trauma minor. Pada penelitian lain yang membandingkan USG
dan IVP, sensitifitas USG akan makin berkurang berbanding lurus dengan beratnya
derajat trauma, sementara sensitifitas IVP sama tingginya pada semua derajat
trauma ginjal.
USG
dapat digunakan untuk mengevaluasi resolusi urinoma dan hematom retroperitoneal
pada kasus pasien trauma ginjal yang stabil. USG juga dapat digunakan pada
pasien yang hamil dan berguna untuk follow-up rutin dalam menilai lesi parenkim
atau hematom pada pasien yang dirawat di ruang intensive care unit (ICU). Kesimpulannya,
USG berguna pada saat triase pasien dengan trauma tumpul abdomen, dan membantu
untuk menentukan modalitas diagnostik yang lebih agresif. USG abdomen tidak
memberikan data yang akurat untuk menilai derajat trauma ginjal.
One shot-Intraoperative Intraveous
Pyelography Pasien yang tidak stabil merupakan kriteria
untuk tindakan operatif (kondisi tidak stabil sehingga tidak dimukinkan
dilakukan CT scan), pada pasien tersebut perlu dilakukan one shot-IVP di ruang
operasi. Tekniknya dengan melakukan injeksi kontras sebanyak 2 ml/KgBB dan
diikuti dengan satu kali pengambilan plain foto tunggal 10 menit setelah injeksi
kontras. Pemeriksaan akan memberikan informasi untuk tindakan laparotomi segera,
dan data mengenai normal atau tidaknya fungsi ginjal kontralateral.
Walaupun
banyak ahli yang menganjurkan penggunaannya, namun tidak semua penelitian
menunjukkan manfaat dari one shot-IVP. Pada kasus trauma tembus, Patet et al,
menemukan positive predictive value yang hanya 20%, artinya 80% pasien dengan
one shot-IVP yang normal, tidak mampu mendeteksi adanya trauma ginjal pada
pasien tersebut. Sehingga disimpulkan bahwa one-shot IVP tidak memiliki manfaat
yang signifikan untuk menilai pasien dengan trauma tembus ginjal yang akan
menjalani operasi laparotomi.
Computed Tomography CT scan
merupakan standar baku pemeriksaan radiologi pada pasien trauma ginjal dengan
hemodinamik stabil. Pada banyak penelitian CT scan lebih unggul dibandingkan
pencitraan lain seperti IVP, USG atau angiografi. CT scan lebih akurat untuk
menilai lokasi trauma, mendeteksi kontusio dengan jelas, memberikan gambaran
retroperitoneum dan hematom, dan secara simultan memberikan gambaran abdomen
dan pelvis. CT scan juga memberikan keunggulan dalam gambaran detail anatomi,
yang mencakup; laserasi ginjal, ada tidaknya trauma penyerta, dan gambaran
ginjal kontralateral. Luasnya hematom yang tampak pada CT scan dapat dijadikan
dasar evaluasi pada kasus trauma tumpul dan penentuan terapi lebih lanjut.
Kontras
intravena dapat dilakukan untuk menilai ginjal. Adanya ekstravasasi kontras
pada trauma ginjal menandakan suatu trauma pedicle ginjal. Jika tanpa kontras,
adanya hematom sentral peri-hilum dapat dicurigai sebagai trauma pedicle. Hal
ini harus dipastikan pada kondisi dimana parenkim ginjal tampak normal. Trauma
pada vena renalis merupakan hal yang sulit untuk dideteksi dengan modalitas
pencitraan apapun, namun kita dapat mencurigainya jika didapati hematom yang
luas pada sisi medial ginjal.
Magnetic Resonance Imaging Walaupun
MRI tidak banyak digunakan pada sebagian besar kasus trauma ginjal, namun
beberapa penelitian telah menunjukkan beberapa manfaat MRI. MRI (1,0 tesla)
dapat dengan akurat mangambarkan hematom perirenal, viabilitas fragmen ginjal,
dan mendeteksi kelainan ginjal sebelumnya, namun gagal memvisualisasikan
ekstravasasi urin pada pemeriksaan awal. Namun demikian MRI bukan pilihan
diagnostik pertama pada pasien trauma karena waktu pemeriksaannya yang lama dan
biayanya yang mahal.
Angiografi. CT scan
telah menggantikan penggunaan angiografi dalam menilai derajat trauma ginjal,
hal ini dikarenakan angiografi kurang spesifik, waktu pemeriksaan yang lama,
dan lebih invasif. Namun demikian, angiografi lebih spesifik dalam menentukan
lokasi pasti dan derajat trauma vaskular. Angiografi dapat menentukan lacerasi
ginjal, ekstravasasi, dan trauma pedicle.
Indikasi
utama angiografi pada trauma ginjal adalah ginjal yang nonvisual pada
pemeriksaan IVP setelah trauma yang berat dan tidak memiliki fasilitas CT scan.
Penyebab dari ginjal nonvisual biasanya adalah avulsi total pembuluh darah ginjal,
trambosis arteri renalis, kontusio berat yang menyebabkan spasme pembuluh
darah. Angiografi juga diindikasikan pada pasien dengan hemodinamik stabil,
untuk menilai trauma pedicle yang tidak begitu jelas pada CT scan, atau pada
pasien dengan hematuri yang persisten.
PENATALAKSANAAN TRAUMA GINJAL
Satu
jam pertama setelah trauma merupakan masa terpenting dan membutuhkan penilaian
yang cepat, melakukan resusistasi berdasarkan prioritas yang telah ditetapkan
oleh American College of Surgeons Acute
Trauma Life Support Program meliputi; A, airway dengan proteksi servikal
collar; B, Breathing; C, Circulation dan mengontrol pendarahan; D, disability
atau status neurologis; dan E, exposure and environment.
Tujuan
utama dari manajemen pasien trauma ginjal adalah meminimalisir morbiditas dan
mengamankan fungsi ginjal. Oleh karena itu eksplorasi ginjal harus dipastikan
dengan sangat selektif. Derajat trauma ginjal, kondisi pasien secara
keseluruhan, dan kebutuhan akan transfusi merupakan faktor prognosis untuk nefrektomi
dan hasil akhir secara keseluruhan.
Hemodinamik
yang tidak stabil yang disebabkan oleh pendarahan ginjal merupakan indikasi
mutlak untuk dilakukannya eksplorasi ginjal, baik pada trauma tumpul maupun
trauma tembus. Indikasi lain untuk dilakukannya eksplorasi adalah hematom
perirenal yang pulsatile dan ekspanding (berdenyut dan meluas). Pada situasi
ini one shot-IVP dapat memberikan informasi yang bermanfaat. Visualisasi yang
tidak baik pada ginjal yang mengalami trauma termasuk indikasi eksplorasi. Pasien
trauma ginjal grade 5 juga merupakan indikasi mutlak untuk dilakukannya
eksplorasi.
MANAJEMEN- EKSPLORASI
Secara
keseluruhan eksplorasi dilakukan pada <10% kasus trauma ginjal dan akan
makin berkurang pada masa yang akan datang karena semakin banyaknya pihak yang
menganut pendekatan konservatif pada kasus trauma ginjal. Tujuan utama
eksplorasi adalah untuk mengontrol pendarahan dan menyelamatkan ginjal.
Mayoritas ahli menganjurkan pendekatan transperitoneal (laporatomi). Akses pada
pedikel ginjal lebih baik dilakukan dengan pendekatan peritoneum parietal
poterior, dengan insisi di atas aorta, medial dari vasa mesenterica inferior.
Secara
keseluruhan 13% pasien mengalami nefrektomi pada saat eksplorasi, umumnya
nefrektomi dilakukan pada pasien dengan riwayat shok dan score trauma yang
berat. Pada kasus luka tembak, rekonstruksi mungkin sulit dilakukan sehingga
dibutuhkan nefrektomi.
Renorafi
merupakan teknik rekonstruksi yang umum dilakukan. Nefrektomi parsial dapat
dipertimbangkan jika ditemui jaringan yang non-viable. Penutupan defek
kolekting sistem dilakukan dengan penjahitan yang kedap-air, beberapa ahli menganjurkan
menutup defek kolekting sistem dengan parenkim ginjal untuk hasil yang lebih
baik. Jika kapsul ginjal tidak dapat dipreservasi maka dapat dilakukan omental
pedicle flap sebagai penutup defek. Pada semua kasus, direkomendasikan
penggunaan drainase retroperitoneal untuk mengalirkan kebocoran urin.
Semua trauma tembus harus
dieksplorasi melalui pendekatan transabdominal, agar dapat mengeksplorasi
ginjal kontralateral dan mengontrol trauma abdomen lainnya. Ginjal dieksplorasi
dengan membuka fascia gerota dan dinilai ada tidaknya pendarahan aktif, hamtom
perirenal yang meluas, atau kebocoran urin. Lakukan penilaian pada hillum dan
ureter bagian proksimal. Trauma tusuk dengan derajat 3 akan mangalami
perjalanan penyakit yang sulit untuk diprediksi dan dapat mengalami komplikasi
lambat dan operasi yang tertunda. Banyaknya jaringan ginjal yang nonviable
merupakan indikasi relatif untuk dilakukan eksplorasi.
Trauma pada organ vaskular
ginjal jarang terjadi, biasanya kasus ini berhubungan dengan trauma penyerta
yang luas dan meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas. Pada kasus trauma
ginjal bilateral dipertimbangkan untuk melakukan repair, pada kasus soliter
dapat dilakukan nefrektomi. Arteriografi dengan embolisasi untuk mengontrol
pendarahan merupakan alternatif untuk laparotomi. Banyak yang melaporkan angka
keberhasilan tindakan ini baik pada kasus trauma tumpul atau trauma tembus.
MANAJEMEN
NON-OPERATIF/KONSERVATIF
Manajemen non-operatif semakin
banyak dipertimbangkan untuk pasien-pasien trauma ginjal. Semua kasus trauma
ginjal grade 1 dan 2 dapat dirawat secara konservatif baik pada trauma tumpul
atau trauma tembus. Terapi pada trauma ginjal grade 3 telah menjadi kontroversi
selama bertahun-tahun. Mayoritas pasien dengan trauma ginjal grade 4 dan 5
datang dengan trauma penyerta dan akhirnya menjalani eksplorasi dan tingginya
angka nefrektomi.
Pasien trauma ginjal grade 4
dan 5 dapat dirawat konservatif dengan syarat kondisi hemodinamik stabil.
Ekstravasasi urin bukan indikasi mutlak untuk dilakukan eksplorasi, dan umumnya
dapat sembuh dengan sendirinya. Jika derajat ekstravasasi makin berat dalam 48
jam dapat dipertimbangkan insersi JJ stent.
Pasien dengan hemodinamik
stabil harus dilakukan penilaian derajat trauma dengan lengkap untuk memastikan
luasnya trauma. Kasus luka tembak dengan kecepatan peluru yang rendah atau luka
tusuk kecil dapat dirawat dengan hasil yang dapat diterima. Pendekatan klinis
yang sistematis berdasarkan pada temuan klinis, laboratorium, dan penunjang
radiologi dapat meminimalisir angka negatif eksplorasi.
PERAWATAN
POST-OPERASI DAN FOLLOW-UP
Pasien yang berhasil dirawat
secara konservatif memiliki beberapa resiko komplikasi. Pencitraan dapat
diulang 2-4 hari setelah trauma untuk meminimalisir resiko komplikasi yang
tidak terdeteksi sejak awal terutama pada trauma grade 3-5. CT scan dapat
dipertimbangkan pada kondisi pasien dengan demam, hematuri yang terus-menerus,
dan nyeri pinggang yang berat.
Follow-up harus mencakup
pemeriksaan fisik, urinalisa, evaluasi radiologi, tekanan darah, fungsi ginjal.
Sedikit sekali literatur yang menilai efek trauma ginjal jangka panjang. Pada
pemeriksaan histopatologi, pada kasus-kasus pasien dengan perawatan konservatif
atau trauma minor ginjal akan menjadi distrofi.
KOMPLIKASI
Komplikasi awal yang dapat
terjadi pada satu bulan pertama berupa; perdarahan, fistula arteri-vena
renalis, hipertensi, ekstravasasi urin, dan urinoma. Komlikasi lambat yang
terjadi hidronefrosis, pembentukan batu, pyelonefritis akut, hipertensi,
fistula arteri-vena, dan pseudoaneurisma.
Menurut literatur kejadian
hipertensi post-trauma sebesar <5%. Hipertensi dapat terjadi segera sebagai
akibat kompresi eksternal oleh hematom perirenal, atau muncul kemudian akibat
kompresi dari terbentuknya scar. Hipertensi yang dimediasi oleh renin dapat
terjadi sebagai komplikasi jangka panjang, hal ini diakibatkan trombosis arteri
renalis, trombosis arteri segmental, stenosis arteri renalis, dan fistula
arterivena. Arteriografi akan memberikan informasi yang bermanfaat pada kasus
hipertensi post-trauma. Penatalaksanaan hipertensi berupa terapi medical,
eksisi parenkim yang iskemik, rekonstruksi vaskular, atau bahkan total
nefrektomi.
Arterivena fistula biasanya
muncul kemudian dengan gejala hematuri, hipertensi, gagal jantung, dan gagal
ginjal yang progresif dan banyak terjadi pada kasus trauma tembus ginjal.
Embolisasi perkutaneus atau stenting arteri renalis mungkin efektif untuk
menangani masalah ini, walaupun kebanyakan kasus dilakukan operasi terbuka.
Pseudoaneurisma merupakan komplikasi yang jarang. Beberapa penulis melaporkan
keberhasilan embolisasi transkateter untuk menangani pseudoaneurisma.
Maju terus Di. Didi memang Oke!
BalasHapusDi, gmn caranya blog kita bisa di edit?
Maaf mas okta, baru sempat buka blog lagi.
BalasHapusKalau mau ngedit langsung aja mas buka desain blog dipojok kanan atas halaman blog.
Kalau sudah masuk,pilih saja item "POS" di kiri. Tinggal pilih artikel mana yang mau di edit.