Sabtu, 28 Februari 2015

Gastroschisis dan Omphalocele


Referensi :
Pediatric Surgery, 6th edition, Jay L. Grosfeld.
SABISTON, Textbook of Surgery, 19th edition.

Embriology
Pada minggu ke-5 kehamilan, usus pada midgut mengalami fase elongasi dan berkembang dalam umbilical coelom, umbilical coelom merupakan rongga pada body stalk yang terletak pada permukaan anterior embrio. Pada minggu ke-10 kehamilan, usus midgut kembali ke rongga peritoneum untuk melanjutkan proses rotasi dan fiksasi. Jika usus mengalami kegagalan untuk kembali, maka bayi akan lahir dengan kondisi dengan isi rongga abdomen yang menonjol keluar dinding perut melalui umbilical ring dengan kantong yang masih utuh membungkus organ viscera, kondisi ini dinamakan omphalocele. Akibat kegagalan proses ini terjadi pada masa awal kehamilan, bayi dengan omphalocele seringkali muncul dengan kelainan bawaan lain yang menyertai. Kegagalan perkembangan cephalic fold akan menyebabkan ectopia cordis, dan kegagalan perkembangan  caudal fold menyebabkan defek pada bladder dan cloaca extrophy.
Sementara pada gastroschisis, adanya organ visera diluar dinding abdomen disebabkan oleh kegagalan umbilical coelom untuk berkembang. Sehingga terjadi keterbatasan rongga abdomen dalam fase elongasi midgut yang kemudian melakukan ekspansi dan keluar dinding abdomen pada sisi kanan umbilicus. Mengapa pada sisi kanan umbilicus, hal ini disebabkan karena bagian tersebut sebagai bagian terlemah akibat tidak terdapatnya vena umbilical kanan, yang telah mengalami resorpsi pada minggu ke-4 kehamilan. Pada gastroschisis usus mengalami oedem, menebal,dan terbungkus dengan fibrin-fibrin. Dahulu kondisi ini dianggap sebagai akibat meconium pada cairan amnion. Namun kemudian terbukti dari bahwa, sesungguhnya kondisi usus pada gastroschisis masih normal hingga 20 menit pertama pasca kelahiran. Setelah itu terjadi perubahan akibat paparan udara pada usus, dan terjadi oklusi dari vena mesentrica pada level defek, yang menyebabkan terjadinya edema dan transudasi cairan yang mengandung protein.


Pemeriksaan Antenatal
Ultrasonografi. Saat ini pemeriksaan antenatal dapat memastikan diagnosis dini dari omphalocele dan gastroschisis. Keduanya dapat dibedakan melalui pemeriksaan ultrasonografi dengan ada tidaknya kantong, hernia umbilical, dan adanya hepar pada defek. Omphalocele dapat terdeteksi pada usia kehamilan 18-24 minggu dan gastroschisis pada usia kehamilan 20-27 minggu. Dengan USG juga dapat ditemukan adanya atresia intestinal yang menyertai gastroschisis atau kelainan jantung yang menyertai omphalocele.
Cairan Amnion dan Serum. Peningkatan kadar alpha fetoprotein baik serum maupun cairan amnion dan peningkatan acetylcholinesterase berkaitan dengan adanya defek dinding abdomen jika tidak ditemukan myelomeningocele.


USG antenatal pada kasus omphalocele.

Omphalocele
Omphalocele ditandai dengan klinis kelainan di tengah dinding abdomen. Umumnya defek berukuran cukup besar (> 4 cm), dengan kantong pembungkus yang masih utuh. Kantong terdiri dari amnion sebagai lapisan terluar, dan peritoneum pada lapisan dalam. Isi kantong dapat hepar, midgut, atau organ lain seperti limpa. Bayi biasanya lahir dalam kondisi cukup bulan. Defek yang < 4 cm dapat muncul sebagai hernia umbilical. Sebanyak 50% bayi dengan omphalocele biasanya hadir dengan kelainan bawaan lainnya. Kelainan bawaan lainnya yang umum terjadi adalah extropia bladder atau kloaka dan pentalogy of Cantrell (omphalocele, hernia diagprahma anterior, sternal cleft, kelainan jantung, seperti VSD.
Penatalaksanaan awal omphalocele dimulai dengan melakukan preservasi kantong yang masih utuh dengan kasa yang lembab dan steril atau kantong plastik steril. Dilakukan pemasangan NGT untuk dekompresi, terapi cairan dan antibiotik. Pemeriksaan rectal juga bertujuan untuk melakukan evakuasi mekonium. Mencegah hipotermia termasuk bagian yang sangat penting. Follow up diagnostik dilakukan untuk mencari kemungkinan kelainan bawaan lain. Operasi penutupan primer pada defek ukuran kecil dapat dipertimbangkan. Sebagai alternatif untuk pilihan terapi tutup primer adalah dengan silo, skin flap, atau prosthetic patch closure. Untuk omphalocele yang berukuran besar dapat dirawat dengan pemberian agen topikal seperti betadin salep, atau silver nitrat dan membiarkan kantong mengalami penebalan dan epitelisasi secara bertahap. Secara umum prognosis bayi dengan omphalocele tergantung pada besarnya defek dan adanya kelainan bawaan lain.
Pada omphalocele umumnya penutupan primer tidak dapat langsung dikerjakan karena rongga abdomen yang lebih kecil dan kantong melekat pada hepar dan ligamentum falciform. Komplikasi yang dapat muncul akibat penutupan primer terlalu awal adalah peningkatan tekanan intra-abdomen, yang kemudian menyebabkan gangguan pernapasan, menurunnya aliran balik vena diikuti menurunnya volume urin dan cardiac output, gangguan aliran darah pada organ pencernaan, asidosis akibat kinking dari vena hepatica.
Teknik operasi : Insisi sirkumferensial pada kulit beberapa milimeter dari kantong mengelilingi defek dan dilakukan pembuatan flap hingga mencapai otot rektus abdominis. Kemudian dilakukan eksisi/pemotongan kantong dengan ligasi vasa umbilical dan urachus. Usus dikembalikan ke rongga intra-abdomen lebih dahulu, kemudian diikuti dengan hepar. Hepar akan membantu dalam fiksasi usus tetap berada pada posisinya. Untuk penutupan primer, dilakukan penjahitan matras pada semua lapisan dinding abdomen terkecuali kulit. Kulit dijahit dengan running suture. Dapat dipertimbangkan untuk melakukan jahitan subcuticular pada kulit untuk mencapai kosmetik yang lebih baik.

Gastroschisis
Pasien biasanya lahir dalam kondisi prematur. Defek biasanya terjadi di sisi kanan umbilical cord. Defek biasanya berukuran rata-rata < 4 cm. Dalam 20 menit pertama setelah lahir, usus biasanya masih dalam kondisi normal, kemudian dinding usus yang keluar akan menebal dan disertai eksudat fibrin sehingga loop usus menjadi sulit untuk dipisahkan. Karena itu dibutuhkan reduksi dan penutupan secepatnya pasca kelahiran. Umumnya bayi yang telah terdeteksi melalui pemeriksaan antenatal, dapat langsung dipersiapkan untuk penutupan defek segera setelah kelahiran. Kelainan bawaan lain cukup jarang terjadi, dan biasanya berkaitan dengan midgut, atresia intestinal terjadi pada 15% kasus. Bayi harus ditangani dengan hati-hati untuk menghindari trauma pada usus dan kehilangan cairan. Hati- hati terjadinya volvulus.


Bayi dengan gastroschisis (gambar : koleksi pribadi)


Teknik operasi : setelah dilakukan pembiusan, dilakukan reduksi konten usus, termasuk evakuasi mekonium per-rektal. Perlu dipastikan tidak adanya atresia usus, yang sering menyertai kasus gastroschisis. Manuver operasi lainnya seperti operasi pada omphalocele. Penutupan dengan kosmetik yang baik dapat dicapai dengan membiarkan umbilikus intak. Umbilikus akan berada disamping sisi penjahitan. Jika jahitan terlalu ketat, dapat dipertimbangkan relaxing incision pada sisi lateral abdomen kanan dan kiri.Untuk penutupan primer, usus dikembalikan ke dalam rongga intra-abdomen dan dilakukan aproksimasi fascia dan kulit. Jika organ viscera tidak dapat dimasukkan ke dalam intra-abdomen, maka usus dimasukkan secara serial, dan dilakukan penjahitan tiap 5-7 hari. Untuk sementara dapat dilakukan penutupan usus/defek dengan silo bag modifikasi. Selama periode postoperasi, jika penutupan kulit terlalu ketat, maka dibutuhkan paralisis otot untuk menjamin perfusi dan mencegah asidosis metabolik. Sebagian besar pasien akan mengalami kondisi ileus yang lama.


Pemantauan Tekanan Intra-abdomen Pasca Operasi
Pasca penutupan primer perlu dilakukan pemantauan tekanan intraabdomen, yang lazim dinilai melalui tekanan intravesika. Tekanan < 12 mmHg dianggap aman. Tekanan 15-20 mmHg perlu observasi ketat,dengan kemungkinan dilakukan intervensi. Jika tekanan > 20 mmHg, maka perlu dilakukan tindakan invasif dengan membuka kembali penjahitan.



Gambar gastroschisis dengan penutupan silo modifikasi dari urin bag (gambar : koleksi pribadi)



Gambar bayi pasca penutupan defek hari ke-8 (gambar : koleksi pribadi)







Sabtu, 14 Februari 2015

HIPONATREMI (Sebuah kesalahan yang selama ini terjadi dalam mengkoreksi hiponatremi)


Diringkas dari : The American Journal of Medicine (2013) : Diagnosis, Evaluation and Treatment of Hyponatremia Expert Panel Recommendations.

Hiponatremia ditandai dengan kadar [Na+] serum < 135 mmol/L (1 mmol/L = 1 meq/L). 15 – 30% pasien yang dirawat menderita hiponatremia akut atau kronis. Insidensi meningkat pada pasien dengan gagal jantung, cedera kepala, dan sirosis (27% dan 50%).
Hiponatremia merupakan salah satu bentuk gangguan yang sering terjadi dalam praktek klinis, sekitar 15-30% pasien yang dirawat mengalami hiponatremia akut atau kronis. Hiponatremia berat (<115 mmol/liter) dapat menimbulkan gangguan neurologis seperti menurunnya kesadaran, kejang bahkan koma. Walaupun pada sebagian besar kasus hiponatremia tidak bergejala, namun setidaknya terdapat tiga alasan yang menjadikan kondisi hiponatremia menjadi penting, yaitu :
  1. Hiponatremia akut (<48 jam) dan derajat berat dapat menyebabkan tingginya angka morbiditas dan mortalitas
  2. Pada berbagai penyakit yang berbeda; efek samping, termasuk angka mortalitas, lebih tinggi pada pasien hiponatremia
  3. Koreksi yang cepat terhadap keadaan hiponatremia kronis, dapat menyebabkan deficit neurologis yang bermakna bahkan kematian

Walaupun umum terjadi, hiponatremia belum sepenuhnya dimengerti. Hal ini disebabkan banyak kondisi yang mendasari terjadinya hiponatremia, disertai dengan patofisiologi yang banyak ditambah dengan kondisi klinis dan yang berbeda baik pada kondisi akut maupun kronis. 
Tingginya angka mortalitas berkaitan komplikasi terjadinya enselopati hiponatremia. Mortalitas pasien gagal jantung dengan hiponatremia juga meningkat. Hiponatremia pada pasien merupakan prediktor terjadinya sindrom hepatorenal, enselopati hiponatremia dan kematian. Hiponatremia juga prediktor outcome yang buruk pada pembedahan. Hiponatremia berhubungan dengan ketidakseimbangan berjalan.

Peran Vasopressin dalam Hiponatremia
Sebagian besar kondis hipontaremi ditandai dengan peningkatan kadar arginine vasopressin (AVP) dalam plasma. Sekresi AVP dirangsang oleh peningkatan osmolalitas plasma melalui aktivasi osmoreseptor yang terletak pada anterior hipotalamus dengan mengurangi volume atau tekanan darah melalui aktivasi osmoreseptor yang terdapat pada sinus karotis, arkus aorta, atrium dan vena pulmonalis. Ketika osmolalitas menurun, maka kadar AVP menjadi tidak terdeteksi dan ginjal mengeksresikan solute free-water sehingga mencegah menurunnya osmolalitas plasma. Pelepasan AVP yang secara terus menerus menyebabkan retensi air dan hiponatremia dengan hipovolume, sama halnya terbentuknya edema pada pasien gagal jantung dan sirosis.

KLASIFIKASI DAN DIAGNOSA BANDING HIPONATREMIA
Osmolalitas cairan tubuh dipertahankan dalam kadar normal oleh sekresi AVP dan rasa haus. Osmolalitas normal cairan tubuh adalah 280-295 mOsm/kg. Natrium merupakan anion yang dapat melintas membrane sel, sehingga hiponatremia identik dengan hipoosmolar. Namun terdapat dua keadaan dimana dua keadaan ini menjadi tidak senada yaitu :
  • 1Pseudohipontaremia : Peningkatan kadar lemak dan protein dalam plasma dapat menyebabkan kadar Na+ serum akan mengurangi secara relative proporsi Na+ secara relative, namun tidak mengubah jumlah total partikel yang terlarut. Sehingga osmolalitas dapat saja normal, namun hiponatremia.
  • Isotonik atau hipertonik hiponatremia : terjadi pada kondisi dimana, terdapat peningkatan  kadar zat yang terlarut dalam plasma. Hal ini akan menyebabkan perpindahan air dari intracel ke kompartemen ekstrasel, sehingga melarutkan Na+. Hiperglikemia merupakan adalah contoh fenomena yang terbanyak. Hiperglikemia akan merangsang diuresis osmotik, sehingga kondisi menjadi hipertonik.



BEBERAPA KONDISI YANG MENYEBABKAN HIPONATREMIA
Terapi Diuretik
Obat-obatan diuretik terutama golongan tiazid sering menyebabkan hiponatremia. Furosemid juga dapat menyebabkan hiponatremia dengan cara menghambat reabsorbsi natrium pada ascending limb pada loop henle (namun jarang). Sering terjadi terutama pada pasien gagal jantung.

Cerebral Salt Wasting
 Merupakan sindrom yang pasca pendarahan subaraknoid, cedera kepala, dan operasi bedah syaraf. Terjadi akibat stimulus baroreseptor yang memicu sekresi AVP. Pada 187 kasus hiponatremia pada bedah syaraf hanya 3,7% yang mengalami CSW.

Exercised-Associated Hyponatremia (EAH)
Pelari maraton dengan EAH akan mengeluarkan volume urin yang lebih banyak berbeda dengan, pelari dengan normonatremia yang akan mengeluarkan volume urin yang lebih pekat. Menurunnya kadar natrium serum setelah olahraga berbanding dengan peningkatan berat badan. Pada pelari maraton, indeks masa tubuh yang rendah, lama latihan > 4 jam, konsumsi cairan tiap mil, minum sebanyak mungkin selama berlari memiliki resiko untuk terjadi EAH. Atlit wanita lebih berisiko untuk mengalami EAH. Atlit dengan EAH cenderung overhidrasi.
Seperti dilansir The New York Times, Kamis (6/10/2011), dalam beberapa tahun terakhir, beberapa pelari maraton meninggal akibat minum terlalu banyak, kondisi yang berbahaya yang disebut hiponatremia atau keracunan air.  Sebuah survei kedua dilakukan oleh para peneliti di Loyola University Medical Center dan telah diterbitkan dalam British Journal of Sport Medicine pada bulan Juni 2011. Survei tersebut mencapai kesimpulan bahwa, hampir setengah dari pelari dapat minum terlalu banyak selama perlombaan yang mereka ikuti. Hanya setengah dari pelari yang disurvei oleh para peneliti Loyola melaporkan bahwa, mereka hanya minum ketika merasa haus. Yang lain minum sesuai jadwal yang telah ditetapkan, dan hampir 10 persen mengatakan kepada peneliti bahwa mereka minum sebanyak mungkin.
"Minum sebanyak mungkin merupakan hal yang dapat berbahaya dan bertentangan dengan pedoman terbaru dari International Marathon Medical Directors Association," kata Dr. James winger, seorang profesor kedokteran keluarga dan penulis utama studi tersebut.

Gagal Jantung dan Sirosis
Dalam situasi normal terdapat beberapa reflek atrium-ginjal yang mengatur eksresi Na dan air. Peningkatan tekanan pada atrium akan merangsang pelepasan AVP dan menyebabkan diuresis yang dikenal dengan nama refleks Gauer-Henry. Beroreseptor terdapat pada ventrikel kiri, arteri karotis, app juktaglomerulus. Normalnya, inhibisi dari stimuasi adrenergik terjadi melalui N.vagus dan N.Glosofaringeus melalui baroreseptor arteri pada karotis dan arkus aorta.
Pada gagal jantung, terjadi penurunan pada baroreseptor, sehingga proses inhibisi sentral ini menghilang, sehingga terjadi peningkatan aktivitas adrenergic, sekresi renin, pelepasan AVP. Efek dari aktivasi sistem neurohormonal ini menyebabkan terjadinya vasokonstriksi renal dengan vasodilatasi sistemik
Patogenesis hiponatremia pada sirosis berkaitan dengan hipertensi porta dan adanya dilatasi pada  sirkulasi splancnik. Selanjutnya mekanisme mirip dengan gagal jantung

Adaptasi Otak terhadap Hiponatremi
 Terapi hiponatremia harus selalu berdasarkan patofisiologi kelainan. Saat hiponatremia terjadi dengan cepat (beberapa jam), kemampuan otak untuk beradaptasi menjadi terbatas, sehingga akan menyebabkan edema otak. Sehingga pada pasien dengan hiponatremi (<48 jam) dapat terjadi perubahan status neurologis bahkan pasien dapat meninggal akibat herniasi otak. Pada kondisi hiponatremi kronis, sel otak akan mengeluarkan solute (zat terlarut) dari dalam sitoplasma, untuk menyamakan osmolalitas intraseluler dan plasma. Sehingga pada hiponatremia (>48 jam) kejadian edema otak menjadi minimal.


Osmotic Demyelination Syndrome
Sindrom ini ditandai dengan pola bipasik, dimana pada awalnya pasien akan mengalami perbaikan neurologis dengan koreksi hiponatremi, namun satu atau beberapa hari setelahnya pasien akan mengalami deficit neurologi yang proresif. Hal ini terjadi akibat pengeluaran air dari jaringan otak yang terlalu cepat, padahal sebelumnya otak telah melakukan adaptasi.
Review pada beberapa literature menunjukkan bahwa peningkatan [Na+] serum sebesar 4-6 mmol/L cukup untuk mengatasi manifestasi serius akibat hiponatremia
Pada pasien dengan Hiponatremia Kronis, gejala sequel neurologis lebih disebabkan karena koreksi yang cepat. Semua peneliti sepakat koreksi cepat hiponatremia akan berisiko kerusakan otak iatrogenic. Telah lebih dari 25 tahun disepakati bahwa koreksi natrium >25 mmol/L dalam 48 jam adalah berlebihan. Koreksi 12 mmol/L per hari disepakati pada berbagai penelitian. Pada kondisi hiponatremi kronis, dimana koreksi natrium normal baru bisa tercapai dalam beberapa hari, maka dsepakati koreksi pada hari pertama diberikan dengan proporsi yang lebih besar. Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa peningkatan kada
Dengan demikian sebagian besar peneliti menganjurkan koreksi Na sebesar 6-8 mmol/L per hari. Namun tentu saja target ini tidak bisa tercapai pada semua fasilitas. Jika terjadi koreksi yang berlebih pada hari pertama, maka koreksi untuk hari kedua dapat dihentikan untuk mencegah koreksi yang berlebihan
Komplikasi terapi sering terjadi pada pasien dengan auto koreksi selama terapi. Kondisi ini sering terjadi pada pasien dengan hipovolumia, defisiensi kortisol, atau terapi thiazide. Pada pasien dengan gejala yang berat target terapi harus tercapai dalam 6 jam.



Manajemen Hiponatremi
Semua peneliti sepakat koreksi cepat hiponatremia akan berisiko kerusakan otak iatrogenic Telah lebih dari 25 tahun disepakati bahwa koreksi natrium >25 mmol/L dalam 48 jam adalah berlebihan. Sebagian besar peneliti menganjurkan koreksi Na sebesar 6-8 mmol/L per hari.

Hiponatremi Akut
Gejala : nyeri kepala, mual, muntah, hingga kejang, penurunan kesadaran hingga kematian Goal Untuk gejala klinis yang berat : 100 ml NaCl 3% selama 10 menit, dapat diulang hingga 3 kali Peningkatan 4-6 mmol/L cukup untuk mengatasi klinis hiponatremia akut Untuk gejala sedang : NaCl 3% 0,5-2 ml/Kg/jam.
Sebagian besar pasien hiponatremi dengan kondisi hipovolemia dapat berhasil diterapi dengan pemberian larutan isotonic saline misal NaCl 0,9%. Jadi tidak perlu koreksi khusus dengan NaCl 3%.


Hiponatremi Kronis
Koreksi minimum diberikan dengan target Na 4-8 mmol/L per hari. Untuk resiko tinggi Osmotic Demyelination syndrome, maksimal koreksi 8 mmol/L/hari. Minimal resiko ODS : koreksi maksimal 10-12 mmol/L/hari dan atau 18 mmol/L/hari. Pada pasien dengan gejala yang berat : rule of six “six a day makes sense for safety; so six in six hours for severe symptoms and stop.
Sebagian besar kasus ODS terjadi pada kondisi koreksi yang melebihi 12 mmol/liter per hari.

Manajemen Pada Kondisi Koreksi Berlebihan
Pasien yang mengalami hiponatremia dalam waktu singkat akibat psikosis atau latihan berat biasanya akan mengalami diuresis air, sehingga kadar Na dapat menjadi normal. Pada keadaan ini dapat terjadi autokoreksi 10-12 mmol/L per hari atau 18 mmol/L per 48 jam.
Durasi hiponatremia yang lebih lama, dan kadar serum Na yang lebih rendah memeiliki resiko untuk overkoreksi. Monitor yang lebih harus dikondisikan pada kondisi kadar Na <120 mmol/L, karena resiko untuk terjadinya ODS. Perlu dilakukan pengukuran Na serum tiap 6 jam dan dianjurkan untuk monitor volume urin hingga kadar Na > 125 mmol/L.
Pada pasien dengan resiko tinggi, koreksi Na > 8 mmol/L per hari sebaiknya dihindari. Pada pasien dengan tanpa resiko, koreksi 8-12 mmol/L per hari dapat dipertimbangkan, dengan catatan koreksi pada hari kedua tidak melebihi 18 mmol/L per hari. Sehingga ketika telah tercapai koreksi >8 mmol/L per hari maka koreksi aktif pada hari kedua perlu dihindari.
Perlu hati-hati melakukan koreksi hiponatremia pada pasien-pasien berikut, karena resiko terjadinya Osmotic Demyelination :

Beberapa point penting dalam koreksi hiponatremia :

  • Hiponatremia yang asimtomatik umumnya dapat dipertimbangkan terapi retriksi cairan dan observasi
  • Kejang yang diakibatkan hiponatremia, dapat dikoreksi cepat dengan target peningkatan nilai natrium serum 3-7 mmol per liter.
  • Komplikasi akibat koreksi cepat natrium, umumnya terjadi jika koreksi melebihi 12 mmol/liter per hari.
  • Beberapa ahli merekomendasikan target harian untuk koreksi hiponatremia adalah 8 mmol/liter/hari.
  • Perlu dipertanyakan akan tingkat hiponatremia yang menjadi kontraindikasi untuk pembiusan pada pasien yang harus menjalani operasi emergensi.